Klausul pembatasan usia dan jumlah kendaraan pribadi yang masuk dalam Undang Undang Daerah Khusus Jakarta (DKJ) telah menuai polemik di tengah masyarakat.
Di satu sisi, sejumlah kalangan setuju aturan ini direalisasikan demi udara bersih dan keselamatan lalu lintas.
Di sisi lain, para pengguna kendaraan tua menolak regulasi ini, karena tak sanggup membeli kendaraan baru dan sangat mengandalkannya sebagai sumber pendapatan rumah tangga.
Menurut sejumlah anggota DPRD Jakarta, kebijakan ini harus diatur lebih rinci dalam peraturan daerah.
Polemik ini seperti kaset yang berulang. Pembatasan usia kendaraan di Jakarta sudah terjadi sejak era Gubernur Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama hingga Anies Baswedan, dan sampai sekarang ini,Heru Budi Hartono.
Seperti apa konteks saat itu, dan mengapa selalu diwarnai pro dan kontra?
Polemik klasik
Bagaimanapun, polemik pembatasan usia kendaraan di Jakarta bukan barang baru.
Ini merupakan salah satu langkah pemerintah mengutak-atik kebijakan agar bisa mengurangi kemacetan di Jakarta, termasuk pekatnya polusi udara.
Pada 2013, Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mewacanakan membatasi usia mobil di atas 10 tahun di Jakarta – pernyataan Ahok ini dilatarbelakangi penolakan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo terhadap kebijakan mobil murah oleh pemerintah pusat saat itu yang ia sebut, \”Kalau itu jelas (bikin Jakarta) tambah macet”.
Lalu 2015, saat Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta, ia menargetkan 2017 Jakarta bebas dari kendaraan yang berusia di atas 10 tahun.
Konsekuensi bagi yang tetap mempertahankan kendaraannya akan dikenakan pajak tinggi atau tidak boleh memperpanjang STNK, sebagaimana dikutip dari Antara.
Wacana ini kandas.
Tapi, tongkat estafet upaya membatasi mobil tua diteruskan gubernur DKI Jakarta selanjutnya, yaitu Anies Baswedan.