Pemerintah didesak menghapus rencana mengubah skema subsidi Kereta Rel Listik (KRL) yang saat ini berbentuk PSO atau pengurangan tarif menjadi berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) karena dianggap \”tidak masuk akal dan bakal memicu benturan sosial,\” menurut pengamat transportasi.
Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran), Deddy Herlambang, mengatakan di belahan dunia mana pun transportasi massal menggunakan tarif tunggal lantaran pelayanan yang diberikan sama untuk semua penumpang.
Komunitas pengguna KRL, Jalur5 Community dan KRL Mania, juga menyatakan menolak skema subsidi berbasis NIK mengingat data masyarakat miskin di Indonesia amburadul dan rentan salah sasaran.
Merepons berbagai kritik tersebut, Juru bicara Kementerian Perhubungan, Adita Irawati, mengatakan \”belum ada keputusan final terkait perubahan skema subsidi KRL dari PSO menjadi berbasis NIK\”.
Lalu, apa dampaknya jika diberlakukan?
Penetapan tarif KRL berbasis NIK dihujat warganet
Kritik dan penolakan atas rencana pemerintah untuk menetapkan tarif Kereta Rel Listrik (KRL) Jabodetabek menjadi berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) masih disuarakan warganet di media sosial.
Di X bertebaran poster penolakan dengan narasi: \”Sudah sesak tambah dipalak, tolak skema subsidi KRL berbasis NIK\”.
Mayoritas komentar yang berseliweran menyatakan ketidaksetujuan terhadap wacana perbedaan tarif. Sebab transportasi umum seharusnya terbuka untuk siapa pun serta mudah diakses oleh masyarakat luas tanpa memandang kelas ekonomi.
Misael S, salah satu pendiri Jalur5 Community, termasuk yang tak setuju kalau rencana itu dijalankan karena dianggap tidak jelas landasannya dan bisa memicu keributan.
\”Di mana-mana transportasi massa itu tarifnya satu dan sama, mau kaya atau miskin enggak dibeda-bedakan. Jadi saya bingung dan kaget akan ada pemisahan tarif subsidi bagi yang kurang mampu, padahal layanannya sama,\” ujar Misael kepada BBC News Indonesia, Senin (02/09).
Misael merupakan pengguna setia KRL. Saban hari dia mengandalkan kereta komuter Jabodetabek untuk berangkat dan pulang kerja dari Jakarta ke Tangerang.
Kereta komuter dipilih karena bebas macet dan ongkosnya murah.
\”Ada sih transportasi altenatif lain ke Tangerang, tapi macet di jalan tol. Jadi mau enggak mau, naik kereta komuter.\”