Evergrande disebut sebagai \”perusahaan properti paling berutang di dunia,\” dan memang betul. Utangnya berjumlah hampir US$330 miliar (sekitar Rp5.202 triliun), lebih dari utang negara-negara seperti Rusia.
Setelah berbulan-bulan menantikan pembuatan rencana yang layak untuk restrukturisasi defisit, pengadilan Hong Kong menilai bahwa \”sudah cukup\” dan Senin (31/01) ini memerintahkan likuidasi Evergrande, raksasa properti Cina.
Pengadilan menerima permintaan kreditur untuk melikuidasi perusahaan itu, yakni dengan menyita asetnya dan menjualnya untuk menutupi utang.
Namun, masih belum diketahui apakah aset Evergrande di daratan China, lokasi sebagian besar propertinya berada, dapat membawa intervensi.
Krisis raksasa properti, yang pecah pada 2021, memperlihatkan kesulitan serius yang dialami sektor properti di China, di mana konstruksi menyumbang hampir seperempat dari perekonomian negara.
Pada saat itu diperkirakan bahwa perusahaan memiliki 1,5 juta rumah yang belum selesai dibangun. Hal ini mengakibatkan banyak keluarga yang telah berinvestasi di properti itu sebelum dibangun kehilangan tabungan dan tanpa rumah.
Menyusul perintah likuidasi, saham Evergrande turun 20% di Bursa Efek Hong Kong Senin ini sampai penjualan sahamnya diperintahkan ditangguhkan.
Keputusan pengadilan Hong Kong, menurut para analis, akan berdampak serius pada pasar keuangan negara itu dan diperkirakan memperburuk citra China sebagai negara tujuan investasi internasional.
Bagaimana krisis Evergrande pecah?
Masalah Evergrande dimulai pada 2021, ketika perusahaan gagal membayar lebih dari US$100 juta (Rp1.575 miliar) kepada kreditur asingnya.
Dana itu disebut sebagai utang offshore (luar negeri) atau ekstrateritorial, dan menandakan krisis di sektor properti China yang masih meningkat.
Efeknya juga dirasakan di pasar internasional, terutama pada negara-negara yang mengekspor bahan baku yang digunakan dalam pembangunan seperti Chili, Peru atau Brasil.
Pada saat itu, kewajiban bayar Evergrande sudah mencapai lebih dari US$300 miliar (sekitar Rp4.720 triliun) dan beberapa bahkan curiga apakah China mengalami \”momen Lehman Brothers,\” istilah yang merujuk pada raksasa perbankan investasi Amerika yang menjadi babak pembuka krisis keuangan global pada 2008.
Perusahaan kemudian menghadapi ratusan tuntutan hukum dan diduga memulai proses restrukturisasi utangnya dengan pihak otoritas China.

By admin