Ekonom INDEF, Eko Listiyanto, menilai pemberian pinjaman kepada pengusaha atau eksportir di sektor sumber daya alam harus lebih diperketat untuk mencegah kerugian negara yang diakibatkan oleh praktik kecurangan (fraud) di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).
Eko berkata bisnis di sektor tambang seperti nikel, batubara, juga kelapa sawit rawan terjadi pelanggaran hukum karena biasanya dikuasai oleh pengusaha kelas kakap yang dekat dengan penguasa sehingga bisa \’menekan\’ pejabat pemerintah agar menyalurkan bantuan kredit.
Terkait kasus di LPEI, Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, mengatakan pihaknya akan sesegera mungkin berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung untuk mengomunikasikan perkara dugaan korupsi di lembaga keuangan tersebut.
Pasalnya kedua lembaga penegak hukum ini mengusut perkara yang sama.
Adapun empat kasus yang kini berjalan di Kejaksaan Agung nilai kerugian negaranya diperkirakan mencapai Rp2,5 triliun rupiah.
Kasus apa yang ditangani Kejaksaan Agung?
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana, mengatakan saat ini pihaknya masih meneliti laporan dugaan korupsi yang diadukan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Senin (18/03).
Kendati tidak merinci lebih jauh, tapi dia bilang bahwa dugaan korupsi di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) sudah pernah ditangani lembaganya dan telah berkekuatan hukum tetap pada tahun 2022.
Saat itu, sambungnya, ada tiga kasus yang pelakunya melibatkan pejabat LPEI dan direktur perusahaan.
Kemudian ada satu kasus lain yang sedang dalam proses penghitungan kerugian negara.
\”Sudah ada hasilnya [kerugian negara] dan naik ke penyidikan kasusnya,\” ujar Ketut Sumedana kepada BBC News Indonesia.
\”Sebentar lagi ada penetapan tersangka.\”
Terkait laporan terbaru dari Menteri Keuangan Sri Mulyani, dia menjelaskan aduan tersebut terbagi dalam tiga bagian.
Pertama, adalah empat perusahaan kelapa sawit, batubara, nikel, dan perkapalan yang diduga melakukan praktik kecurangan (fraud) dalam pembiayaan ekspor sebesar Rp2,5 triliun.