Jakarta (ANTARA) – Hasil studi baru yang dipublikasikan di Rheumatologymenunjukkan bahwa lebih dari 50 persen orang dengan penyakit autoimun juga mengalami depresi dan gangguan kecemasan.
Menurut siaran buletin Healthpada Minggu (31/3), sekitar 13 persen perempuan dan tujuh persen pria mengalami kelainanautoimundan hasil penelitian menunjukkan lebih dari separuh orang dengan penyakit autoimunjarang atau tidak pernah menyampaikan gangguan mental yang mereka alami ke penyedia layanan kesehatan.
"Rentang dan prevalensi gejala neurologis dan psikiatrik ini lebih tinggi dari yang sebelumnya ditemukan dan jauh lebih tinggi dari perkiraan klinisi," kata MelanieSloanPh.D, peneliti utama dalam studi tersebut dari Departemen Kesehatan Masyarakat dan Pelayanan Kesehatan Primer Universitas Cambridgekepada Health.
"Bagi pasien, bagian pentingnya adalah bahwa mereka tidak sendirian jika mereka mendapatkan jenis gejala ini, dan hanya dengan memberi tahu dokter mereka bisa mendapatkan dukungan," dia melanjutkan.
Guna lebih memahami korelasi kelainan autoimundengan kondisi kesehatan mental, para peneliti melakukan survei pada hampir 1.900 orang dengan gangguan autoimun dan menanyakan gejala neurologis dan psikiatrikmereka.
Para peneliti juga melakukan survei pada hampir 300 penyedia layanan kesehatan.
Sloan dan timnya menemukan bahwa di antara peserta survei sebanyak 55 persen orang mengalami depresi, 57 persen orang mengalami kecemasan, 89 persen orang mengalami kelelahan parah, dan 70 persen orang mengalami disfungsi kognitif seperti masalah memori.
Para peneliti mencatat orang dengan penyakit autoimunkecil kemungkinannya menyampaikan masalah kesehatan mental mereka atau meminta bantuan. Sebagian besar memilih diam karena takut akan menghadapi stigmatisasi.
"Banyak orang, bahkan tanpa penyakit rematik ini, berbagi ketakutan akan stigma tentang gejala kesehatan mental karena mereka akan dihakimi," kata Sloan.
Dia menjelaskan, lamanya waktu untuk mendiagnosis penyakit autoimunmembuat banyak pasien kehilangan kepercayaan pada penyedia layanan kesehatan dan, dalam beberapa kasus, interpretasi sendiri tentang gejala mereka.
"Mereka takut bahwa jika mereka melaporkan gejala kesehatan mental atau neurologis, itu dapat menyebabkan mereka kembali ke hari-hari pra-diagnosis dan bahwa gejala penyakit masa depan mereka akan diabaikan sebagai akibat dari kesehatan mental," kata Sloan.
Hambatan lainnya adalah bahwa gejala kesehatan mental tidak selalu terlihat atau bisa diuji.
"Kami menemukan beberapa klinisi, terutama psikiater dan perawat, sangat menghargai laporan pasien, tetapi beberapa penyedia layanan lain merasa lebih nyaman ketika mereka memiliki tes darah atau hasil pemindaian, atau bisa melihat sendiri gejala. Mereka menginginkan bukti objektif," kata Sloan.
Namun, identifikasi kondisi kesehatan mental lebih bergantung pada mendengarkan dan mempercayai laporan seseorang.
"Kebanyakan orang sangat ingin mendapat bantuan untuk memiliki kehidupan yang lebih baik dan membutuhkan dokter mereka untuk memvalidasi gejala-gejala yang menyedihkan ini," kata Sloan, menambahkan, "Bukan bekerja dengan model 'harus bisa dilihat agar dipercaya'."
Brent Nelson, MD, psikiater dan kepala informasi medis di PrairieCare, menyampaikan bahwakaitan antara penyakit autoimun dan kesehatan mental kompleks, dan belum sepenuhnya dipahami.
Koneksi ini disebabkan oleh permainan kompleks antara sel-sel sistem kekebalan tubuh dan sel-sel otak.
Nelson menjelaskan bahwa penyakit autoimun menyebabkan sel-sel kekebalan tubuh menyerang dirinya sendiri dan hal itu mempengaruhi sel tubuh maupun otak.
"Beberapa faktor berkontribusi pada koneksi ini termasuk peradangan dan komunikasi sistem imun otak," katanya.
"Peradangan ini dapat menyebar ke otak dan dapat mempengaruhi neurotransmiter yang mengatur suasana hati, menyebabkan peningkatan risiko gangguan suasana hati," ia menambahkan.
Penerjemah: Putri Hanifa