Momen Lebaran 2024 terasa berbeda. Film horor yang biasanya disambut meriah masyarakat Indonesia pada momen liburan raya tersebut menuai banyak sorotan gara-gara Kiblat.
Kiblat memicu kontroversi jelang Lebaran 2024 meski sebenarnya film itu juga belum jelas tayang kapan. Semua gara-gara posternya berisi perempuan kesurupan dengan mengenakan mukena untuk salat.Review Film: Suzzanna Malam Jumat KliwonApalagi film itu pakai kata \”kiblat\” yang berasosiasi dengan arah salat umat Muslim, yakni Ka\’bah. Tak pelak, gelombang protes dari netizen hingga Majelis Ulama Indonesia (MUI) bermunculan sampai permintaan tidak tayang.
Namun kontroversi Kiblat jelang Lebaran itu punya makna lain selain protes gara-gara poster. Akademisi Film Binus University, Ekky Imanjaya, menilai protes terhadap horor dengan bumbu religi macam Kiblat adalah tanda kejenuhan penonton.ADVERTISEMENT .para_caption div {width: 100%;max-width: none !important;position: absolute;z-index: 2;}\”Memang, sih, film horor yang berbasis Islam itu sudah kebanyakan dan sudah eksploitatif. Mungkin orang capek ya sehingga berteriak, saya bisa pahami,\” kata Ekky kala berbincang dengan CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
\”Tapi, sebaiknya tonton dulu filmnya. Ini kan lulus sensor juga belum,\” lanjutnya.
Hal senada diungkap pengamat perfilman dan budaya populer Hikmat Darmawan. Ia mengakui adanya kekesalan penonton atas genre horor lokal yang menumpuk.
Di sisi lain, materi promosi Kiblat juga cenderung bermasalah. Dua hal itu menjadi alasan kuat masyarakat ramai-ramai protes hingga viral di media sosial.Pilihan RedaksiLSF Beber Alasan Film Kiblat Belum Lulus SensorSinopsis Ronggeng Kematian, Arwah Penari Hantui 4 MahasiswaSinopsis The First Omen, Jejak Awal Kelahiran Anak Keturunan Iblis\”Mungkin ada penumpukan kekesalan dari yang lain-lain. Tapi, jangan diangkat berlebihan. Mereka yang protes kan belum menonton filmnya. Jangan normalisasi menghakimi film tanpa menonton,\” kata Hikmat.
Meski begitu, Hikmat mengamini bahwa riuh protes terhadap Kiblat adalah peringatan bahwa industri film lokal perlu berbenah untuk genre horor lokal. Apalagi penilaian \”eksploitatif\” ini muncul setelah film horor lokal \”merdeka\” dari aturan negara soal film horor.
Konten film horor Indonesia pernah diatur oleh negara pada masa Orde Baru. Pada 1981, Kode Etik Produksi Film Nasional dirilis untuk menertibkan unsur-unsur yang dianggap sensitif seperti seksualitas hingga klenik atau horor.
Dalam konteks horor, Kode Etik Produksi Film Nasional itu mengatur supaya alur cerita film selalu mengarah kepada ketakwaan dan pengagungan terhadap Tuhan, seperti yang dikutip dari penelitian Van Heeren (2007), Return of the Kyai: Representations of Horror, Commerce, and Censorship in Post-Suharto Indonesian Film and Television.
Lanjut ke sebelah…