Tensi di Timur Tengah sedang meningkat.
Iran meluncurkan gempuran udara ke Israel, pada Minggu (14/04) malam, yang mencakup 170 drone, 30 rudal jelajah, dan 110 rudal balistik.
Itu adalah pertama kalinya Iran melancarkan serangan ke Israel dari wilayah kedaulatan Iran – walau ada pula puluhan rudal dan drone yang diluncurkan dari Irak, Suriah, dan Yaman.
Peristiwa tersebut adalah episode terkini dalam permusuhan lama antara Iran dan Israel.
Kedua negara itu telah terlibat dalam permusuhan berdarah selama berdarah-darah, yang fluktuasi intensitasnya bergantung pada peristiwa geopolitik. Permusuhan keduanya merupakan salah satu sumber ketidakstabilan di Timur Tengah.
Bagi Teheran, Israel tidak punya hak untuk hidup. Para penguasa Iran menganggap Israel sebagai “setan kecil” sekaligus sekutu Amerika Serikat yang mereka sebut sebagai “setan besar”. Iran ingin keduanya menghilang dari Timur Tengah.
Di lain pihak, Israel menuduh Iran mendanai kelompok “teroris” dan melakukan serangan terhadap kepentingannya yang dimotivasi oleh sikap anti-Yahudi dari para ayatollah.
Persaingan antara dua “musuh bebuyutan” ini telah menimbulkan banyak korban jiwa, sering kali akibat tindakan rahasia yang tidak diakui oleh pemerintah mana pun.
Perang di Gaza hanya memperburuk keadaan.
Bagaimana permusuhan antara Israel dan Iran bermula?
Hubungan antara Israel dan Iran sejatinya cukup baik sampai ketika Revolusi Islam yang dikomandoi Ayatollah merebut kekuasaan di Teheran pada 1979.
Meski menentang rencana pembagian wilayah Palestina yang berujung pada berdirinya negara Israel pada 1948, Iran adalah negara Islam kedua yang mengakui pendirian Israel setelah Mesir.
Saat itu, Iran adalah negara monarki yang diperintah oleh Shah dari dinasti Pahlavi dan salah satu sekutu utama Amerika Serikat di Timur Tengah.
Karena alasan ini, pendiri Israel dan kepala pemerintahan Israel pertama, David Ben-Gurion, berusaha menjalin persahabatan dengan Iran sebagai cara untuk melawan penolakan negara Israel oleh negara-negara tetangganya.