Energy Shift Institute (ESI) memperkirakan Indonesia hanya akan memiliki 10 gigawatt-hour (GWh) produksi baterai kendaraan listrik pada tahun ini. Jumlah tersebut kurang dari 0,04 persen kapasitas produksi baterai global sebesar 2.800 GWh.
Padahal, produksi nikel terus meningkat.
\”Dengan kapasitas global diperkirakan meningkat dua kali lipat menuju 2030, sangat jelas Indonesia tertinggal jauh di belakang, meski produksi nikelnya meningkat lebih dari delapan kali lipat sejak 2015,\” bunyi laporan ESI, dikutip, Senin (12/2).
ESI menilai hilirisasi nikel Indonesia memang membawa kemajuan di mana bahan mentah mulai diolah menjadi produk setengah jadi untuk industri baterai, meski saat ini tiga perempat ekspor nikel masih berkaitan dengan industri baja tahan karat.Debat Luhut dan Tom Lembong soal Harga Nikel AnjlokADVERTISEMENT .para_caption div {width: 100%;max-width: none !important;position: absolute;z-index: 2;}

Namun, saat Indonesia perlahan merangkak naik dalam rantai pasok industri baterai dengan meningkatkan nilai tambah nikel dan menjadi pemain kunci dalam industri baterai dan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB), negara lain justru sudah berjalan kencang.
ESI mengatakan pertumbuhan kapasitas produksi baterai dunia berlangsung lebih cepat dibandingkan permintaan. Misalnya pabrik baterai China beroperasi kurang dari 45 persen kapasitas produksi.
\”Seiring dengan terus dibangunnya kapasitas di China, ditambah dengan dorongan agresif dari Amerika Serikat dan Uni Eropa untuk mengembangkan industri mereka, persaingan untuk investasi akan semakin ketat meski dalam pasar yang terus tumbuh,\” kata ESI.
ESI mengatakan sejauh ini nilai tambah berbagai produk nikel Indonesia berkisar dua hingga 11 kali lipat dibanding produk mentahnya. Namun, angka itu masih di bawah nilai tambah yang lebih dari 60 kali lipat jika mencapai produksi baterai.
ESI memandang ke depan permintaan nikel untuk baterai akan terus melambung seiring adopsi kendaraan listrik. Produsen baterai, sambungnya, lebih condong menempatkan investasi pabrik mereka dengan mengikuti perkembangan pasar kendaraan listrik.

Namun masalahnya adopsi kendaraan listrik di Indonesia masih lamban.
\”Berita masuknya raksasa KBLBB, BYD, ke Indonesia patut diapresiasi namun kemungkinan tidak akan berimbas besar dalam pengembangan pabrik baterai berbasis nikel karena model kendaraan mereka yang kebanyakan menggunakan baterai tanpa nikel,\” bunyi laporan ESI.
Dengan arah saat ini, kata ESI, kemungkinan Indonesia hanya akan bergeser dari eksportir produk nikel untuk baja tahan karat menjadi eksportir produk setengah jadi untuk industri baterai.
Karenanya, para pemangku kepentingan perlu bertanya apakah Indonesia telah benar memperoleh hasil yang optimal untuk sumber daya mineralnya.
\”Dengan kapasitas produksi baterai yang sangat kecil, Indonesia tampaknya telah mencapai batas daya tawar hilirisasi nikelnya. Ini adalah saat yang tepat untuk meninjau ulang dan menata kembali rencana ke depan,\” kata ESI.

By admin