Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan alasan mengapa Indonesia sulit mengerek rasio pajak (tax ratio) di Indonesia.
Rasio pajak adalah perbandingan penerimaan pajak dengan produk domestik bruto (PDB) alias pertumbuhan ekonomi.
\”Kita tahu Indonesia masih kesulitan untuk meningkatkan tax ratio,\” ungkap Sri Mulyani dalam Mandiri Investment Forum 2024 di Hotel Fairmont, Jakarta, Selasa (5/3).
Wanita yang akrab disapa Ani itu menyebut penerimaan pajak ini terkait dengan basis perpajakan yang ada. Masalahnya, sebanyak 47 persen perekonomian di Indonesia yang tidak masuk dalam basis perpajakan di Indonesia. Belum lagi, pemerintah memberikan sejumlah insentif pajak.
\”Intinya dari pengumpulan atau penagihan pajak, kita hanya mengandalkan 53 persen. Ini terjadi bukan saja karena banyak ekonomi informal di Indonesia, tapi juga banyak pengecualian perpajakan di mana kegiatan-kegiatan ekonomi masih belum dikenakan pajak, yang diatur dalam kebijakan dan regulasi. Ini juga terjadi karena kami memberikan sejumlah insentif,\” jelasnya.ADVERTISEMENT .para_caption div {width: 100%;max-width: none !important;position: absolute;z-index: 2;}THR PNS Tahun Ini Dibayar Penuh 100 Persen Usai 4 Tahun Tidak FullMeski begitu, Bendahara Negara itu mengatakan Indonesia bisa mengembalikan rasio pajak yang sempat anjlok saat pandemi covid-19 pada 2020 lalu.
Pada bahan paparannya, rasio pajak pada 2019 mencapai 9,77 persen dari PDB, lalu turun drastis ke 8,32 persen saat dihantam badai covid-19 setahun kemudian.
Setelah itu, bangkit kembali ke 9,12 persen pada 2021 dan melesat 10,39 persen di 2022. Akan tetapi, rasio pajak kembali merosot ke 10,21 persen dari PDB pada tahun lalu.
\”Kalau melihat tax ratio yang sempat turun sangat tajam akibat pandemi, kini kita kembali mengakselerasi kembali. Kita juga memperkecil defisit kita sehingga mampu kita turunkan sampai hampir keseimbangan primer positif atau surplus. Ini pertama kalinya dalam 12 tahun anggaran kita,\” tandasnya.Prabowo Minta Saran Erick-Chatib Basri: Siapa Bisa Jadi Dirjen Pajak?Sebelum paparan Sri Mulyani, ada Menteri Pertahanan sekaligus calon presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto yang juga menyoroti rasio pajak Indonesia kalah dari negara-negara tetangga.
Ia menuturkan rasio pajak di Thailand dan Vietnam sebesar 16 persen dari PDB. Prabowo menyebut rasio pajak Indonesia yang hanya 10 persen masih bisa ditingkatkan. Ia menegaskan ini akan digenjot jika dirinya terpilih menjadi presiden 2024-2029.
\”Bukan berarti kita perlu menaikkan pajak, tapi dalam hal ini kita perlu memperluas basis perpajakan atau jumlah wajib pajak. Dan saya pikir ini bisa dilakukan,\” tutur Prabowo.
\”Dari angka 10 persen (tax ratio) kalau bisa kita tingkatkan ke 16 persen seperti di Thailand, maka kenaikan 6 persen dari US$1.500 miliar produk domestik bruto (PDB), ini akan menjadi angka yang signifikan. Ini mencapai US$90 miliar,\” tambahnya.
Bahkan, Prabowo menekankan dirinya butuh masukan dari sejumlah pihak tentang bagaimana meningkatkan rasio pajak tersebut.
Ketua Umum Partai Gerindra itu sampai-sampai meminta saran kepada Menteri BUMN Erick Thohir hingga Menteri Keuangan 2013-2014 Chatib Basri soal siapa sosok yang pantas menjadi direktur jenderal pajak Kementerian Keuangan.
\”Pak Erick, Pak Darmawan (Direktur Utama Mandiri Darmawan Junaidi), Pak Kartika (Wamen BUMN Kartika Wirjoatmodjo), Pak Chatib mohon berikan saran kepada saya, siapa yang kira-kira bisa dijadikan Dirjen Pajak?\” ucapnya disambut tawa para pejabat yang namanya disebut.
\”Sebagai mantan pengusaha, ya sebenarnya saya juga sekarang masih pengusaha. Bagaimana saya bisa mendanai kampanye saya kalau bukan (pengusaha). Wah banyak wartawan di sini,\” sambung Prabowo berkelakar.
Di lain sisi, Prabowo yakin bisa mengerek pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 8 persen dalam 4 tahun hingga 5 tahun ke depan.