Kasus tuberkulosis (TB) di Indonesia masih begitu tinggi. Penyebabnya banyak pasien yang tidak berobat hingga tuntas.
Setiap 24 Maret dirayakan Hari TB Sedunia (World TB Day). Menurut Erlina Burhan, dokter spesialis paru-konsultan, Hari TB seharusnya dirayakan setiap hari.
\”TB ini sudah penyakit lama tapi sampai saat ini kita masih sibuk memikirkannya. Kondisi saat ini bukan kondisi yang biasa-biasa saja. Tragedi di depan mata,\” ujar Erlina dalam webinar bersama Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Senin (25/3).
Dia menyertakan istilah \’tragedi\’ sebab insiden TB terus meningkat dari 834 ribu kasus pada 2020 menjadi 1.060.000 kasus pada 2022. Sementara itu angka kematian akibat TB sebanyak 140.700 jiwa per tahun.
Dibanding negara-negara lain, Indonesia jadi negara kedua dengan kasus TB terbanyak di dunia setelah India. Penyebabnya ada dua yakni kasus TB yang tidak ditemukan atau terdeteksi dan pasien TB yang tidak berobat hingga tuntas.ADVERTISEMENT .para_caption div {width: 100%;max-width: none !important;position: absolute;z-index: 2;}Pilihan RedaksiBuah yang Disebutkan dalam Al-Qur\’an, Bisa Turunkan Kolesterol5 Tanda Kamu Perlu Kolonoskopi Sebelum Usia 45 TahunSudah Ada di Indonesia, Bagaimana Cara Mendapatkan Vaksin DBD?Kenapa pasien tidak menyelesaikan pengobatannya?
1. Sudah tidak ada keluhan
Regimen pengobatan TB harus tuntas dan memakan waktu enam bulan. Biasanya pasien menghentikan pengobatan karena sudah tidak menemukan keluhan.
\”Kalau sudah sebulan, dua bulan, kuman mulai teratasi, jumlahnya sedikit sehingga enggak ada keluhan. Demam enggak ada, batuk berkurang, nafsu makan bagus lagi, berat badan naik, enggak ada lemas, lesu, lelah, letih,\” kata Erlina.
Kemudian pasien memutuskan menghentikan pengobatan, padahal kuman masih ada. Kemudian apa yang terjadi? Kuman yang tersisa memperbanyak diri lalu muncul kekambuhan dan bisa menularkan pada orang lain.
Sekali bersin, lanjut Erlina, kuman TB yang tersebar bisa sekitar satu juta kuman. Kuman TB yang melayang di udara berpotensi terhirup orang lain dan memicu infeksi.
2. Bosan
Pengobatan TB memang lama sekitar enam bulan, meski kini sedang dikembangkan regimen pengobatan selama empat bulan.
Hanya saja, pasien bisa merasa bosan karena harus bolak-balik ke fasyankes untuk kontrol dan mengambil obat. Dalam hal ini, pasien perlu menjalin komunikasi yang baik dengan dokter dan dukungan keluarga agar tuntas berobat.
3. Efek samping
Obat TB memiliki sejumlah efek samping. Efek samping berbeda pada tiap obat. Pada pasien TB sensitif obat (TB biasa) umumnya diresepkan isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan ethambutol.
Mengutip dari berbagai sumber, di awal pengobatan biasanya pasien mengalami gangguan pencernaan ringan seperti mual dan nyeri perut sementara.
Sementara itu, efek samping isoniazid seperti, kesemutan, rasa kantuk, jerawat, kehilangan selera makan. Ethambutol bisa memberikan efek samping sakit pada sendi, sakit kepala, ruam di kulit.
Pirazinamid umumnya memiliki efek samping berupa nyeri sendi, sendi panas dan kaku, juga kehilangan selera makan. Kemudian rifampizin bisa memicu kelelahan, sakit kepala, nyeri otot, dan tubuh menggigil.
4. Alasan ekonomi
Pasien tidak cukup biaya untuk ke fasyankes dan mengambil obat. Ada juga pasien yang enggan ke fasyankes karena tidak bisa meninggalkan pekerjaan. Jika pekerjaan ditinggalkan, pasien tidak memiliki penghasilan.
5. Stigma negatif
Pasien TB ada yang enggan terbuka tentang kondisi kesehatannya. Penyakit TB mendapat cap negatif dan membuat pasien terdiskriminasi.
\”Ada pasien bilang \’Dok, saya begitu tetangga tau saya TB, tetangga enggak mau lewat depan rumah\’. Pasien enggak mau ketahuan TB, enggak mau diperiksa,\” kata Erlina.

By admin