Siapa yang menyangka, kota Vientiane, yang sebelumnya tak pernah terlintas di benak saya, menjadi tempat tinggal saya selama enam bulan. Awalnya, saya berpikir, \”Vientiane? Bukankah itu mirip dengan Vietnam? Atau mungkin dekat Vienna?\”
Ternyata, kota ini adalah ibu kota Laos, negara yang sering disebut \”Tanah Terkunci\” karena dikelilingi oleh Myanmar, Vietnam, China, Kamboja, dan Thailand. Meski tanpa garis pantai, Laos memikat dengan pegunungan dan hutan-hutannya yang memesona.
Saat saya berpamitan untuk penugasan di Laos, pimpinan saya sempat bertanya dengan nada sedikit meremehkan, \”Kenapa harus ke Laos?\” Namun, siapa sangka, saya justru jatuh cinta-bukan hanya pada Vientiane, tetapi juga pada orang-orangnya yang hangat dan ramah.Pilihan RedaksiMenyusuri Jalan al-Mu\’iz di Kairo, Bagai Berada di Museum TerbukaDi Balik Proyek Ambisius Saudi, Ada Penggusuran dan Pajak TinggiSuhu Nol Derajat, Bus Malam New York, dan Tekad Nyoblos di TPS 400 KmLaos adalah negara ke-23 yang saya kunjungi, dan tugas saya kali ini datang dari Badan Bahasa, Kemendikbudristek, untuk mengajar Bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA) serta mengenalkan budaya Indonesia di KBRI Vientiane.
Berbagai kegiatan seperti kelas angklung, membatik, menari, memasak, hingga menonton film Indonesia, semua saya lakukan bersama murid-murid Laos yang antusias.
Menariknya, saya sempat mengambil kelas tari Topeng Malangan sebelum berangkat, dengan tujuan mengenalkan tarian khas dari kota kelahiran saya, Malang. Dalam pengajaran bahasa Indonesia, murid-murid sangat antusias dan kooperatif mengikuti kelas sampai saat ini.
Berbagai macam tujuan mereka mempelajari bahasa Indonesia, antara lain, ingin melanjutkan studi S2 di Indonesia, ingin mengikuti program pertukaran bahasa dan budaya di universitas-universitas Indonesia, ingin berwisata ke Indonesia, dan juga ingin bekerja di sana.
Selama tinggal di Vientiane, saya sering mendengar komentar yang bernada skeptis. Seorang wisatawan pernah berkata, \”Nothing to do here right?\” Namun, saya berpikir sebaliknya. Justru ada banyak hal yang bisa dilakukan.
Mengajar bahasa dan budaya Indonesia, menjelajahi berbagai situs seperti Wat Sisaket, Wat That Luang, Museum Ho Prakheo, Museum Lao Textile, dan Patuxai, hingga berbagi momen memasak dan joging dengan murid-murid, semua memberi warna tersendiri dalam keseharian saya.
Tak lupa, selama penugasan ini, saya juga berhadapan dengan tantangan unik. Salah satunya adalah \”jam karet\” versi Laos, di mana keterlambatan murid sering terjadi karena budaya Sabai Sabai, yang barangkali serupa dengan sikap santai di Indonesia.

Bersambung ke halaman selanjutnya>>>>>

By admin