Jakarta (ANTARA) – Organisasi nirlaba Stop TB Partnership Indonesia mengimbau kepada masyarakat untuk menghindari tindakan-tindakan sederhana yang dapat menyebabkan stigma negatif pada penderita tuberkulosis (TBC).

"Stigma itu ditemui paling banyak, sekitar 80 persen dari komunitas atau dari tetangganya, jadi dari masyarakat sekitarnya, lalu disusul dengan rumah sakit atau klinik dan juga tenaga kesehatan," kata Program Manager Stop TB Partnership IndonesiaNurliyanti dalam webinar berjudul "Kebutuhan Kesehatan Mental dan Psikososial pada Orang dengan TBC" yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu.

Nurliyanti yang juga seorang tenaga kesehatan menyebutkan beberapa contoh tindakan sederhana yang merupakan stigma negatif kepada penderita TBC, seperti adanya ucapan "Jangan dekat-dekat dengan penderita TBC, awas tertular".

"Menjaga jarak (terhadap) orang dengan TBC harusnya melakukan proteksi, bukan dengan memberikan jarak, tetapi misal pakai masker di rumah, tapi dia tetap berinteraksi dengan orang sekitarnya. Bukan dengan memberikan jarak sosial antara dirinya dengan orang lain," tegasnya.

Menurut Nurliyanti, saat penderita TBC mulai menjauh dari orang lain, di saat itu pula stigma negatif dari dalam dirinya muncul, yang dapat menyebabkan penderita TBC memilih-milih untuk menceritakan penyakitnya, yang pada akhirnya dapat menghambat deteksi penyakit tersebut.

Hal yang sama, kata dia, juga berlaku saat ada seseorang atau segelintir kelompok yang mencoba mengganti kata "TBC" dengan kata lainnya seperti "penyakit paru-paru" atau "paru-paru basah", seolah-olah kata "TBC" merupakan suatu hal yang buruk.

"Padahal, mengganti kata TBC dengan kata lain, itu sama dengan bahwa kita sedang melakukan stigmatisasi terhadap pasien tersebut, karena kita mendukung bahwa menyatakan kata TBC itu adalah hal negatif," ungkapnya.

Lebih lanjut, Nurliyanti mengungkapkan hal serupa juga terjadi di tempat kerja, yang menyebabkan penderita TBC harus kehilangan pekerjaannya, dan semakin menyulitkannya dalam berobat untuk mencapai kesembuhannya.

Untuk itu, ia mengimbau kepada masyarakat untuk dapat menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan stigma negatif kepada penderita TBC, agar penderita TBC menjadi lebih terbuka, sehingga penyakitnya dapat dideteksi dan diobati sampai tuntas.

Hal senada juga diungkapkan oleh Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI dr Imran Pambudi yang mengajak kepada masyarakat Indonesia untuk menghilangkan stigma negatif penderita tuberkulosis (TBC), agar kasus penyakit tersebut dapat ditemukan seluruhnya dan dieliminasi dari Indonesia.

"Kita harus bisa membebaskan mereka (penderita TBC) dari self stigma, stigma dari diri mereka sendiri dalam mencapai eliminasi TBC," ujarnya.

Selain mempersulit deteksi penderita TBC, Imran mengungkapkan adanya stigma negatif pada penderita TBC juga menyebabkan para penderitanya putus semangat dalam menjalani terapi yang tengah dijalani, sehingga menyebabkan penyakitnya menjadi kebal atau resisten obat (TBC-RO).

Untuk diketahui, laporan Global TB Report Tahun 2023, menyatakan sebanyak 1.060.000 kasus baru TBC di Indonesia, dimana sekitar 30.000 diantaranya merupakan kasus TBC resisten obat.

Pada tahun lalu, Indonesia berhasil menemukan sekitar 821.000 kasus TBC baru, atau sekitar 78 persen dari laporan Global TB Report.

By admin