Belakangan, produk yang diklaim \”berkelanjutan, niremisi atau bebas plastik,\” mulai rajin ditemui di rak-rak supermarket di Jerman dan Eropa.
Strategi pemasaran hijau mulai marak digunakan demi mengimbangi tren ramah lingkungan di kalangan konsumen.
Mulai dari emisi produksi, hingga limbah dan polusi, buruknya neraca ekologi sebuah produk bisa menjauhkan pelanggan.
Menurut sebuah survei terhadap konsumen di 16 negara di dunia, hampir separuh responden lebih memilih produk dengan label ramah-lingkungan.
Tapi riset yang sama juga mengungkap, hanya tiga persen kosumen mampu mendeteksi produk bermasalah yang mendapat label hijau.
Sebab itu pula kenapa praktik greenwashing dianggap berbahaya, karena ampuh mengelabui konsumen soal buruknya neraca ekologi sebuah produk.
Strategi pemasaran mencuci emisi
Praktik pencucian emisi acap ditemukan di sektor energi, perbankan, retail atau bahkan oleh penyelenggara negara.
Greenwashing merupakan bagian dari strategi pemasaran untuk memberikan kesan ekologis pada produk atau merek dagang.
\”Umumnya, praktik ini membesarkan pencapaian lingkungan,\” kata Maria Soxbo, guru besar keberlanjutan di Swedia, dalam forum Ted Talk tahun 2023 lalu.
\”Greenwashing terjadi ketika pemasaran hijau justru merugikan lingkungan, saat pesan keberlanjutan justru mengecoh kita, ketimbang membantu konsumen mengambil keputusan yang baik.\”
Tujuannya adalah menjaring minat investor dan konsumen yang tertarik mendukung produk berkelanjutan, tanpa harus melakukan transformasi hijau pada level produksi, distribusi dan konsumsi.
Menurut penelitian gabungan lembaga konsultan McKinsey dan riset pasar NielsenIQ, sebagian besar konsumen mengaku siap membayar lebih mahal untuk produk \”berkelanjutan.\”
Akibatnya, perusahaan yang giat memasarkan label hijau cenderung mencatatkan pertumbuhan yang pesat.
Bagaimana mendeteksi praktik pencucian emisi?
Praktik Greenwashing dapat muncul dalam berbagai bentuk, tersembunyi atau tidak.

By admin