Tidak lama lagi, Indonesia akan menggelar Pemilihan Umum (Pemilu) pada 14 Februari 2024. Pada Pemilu kali ini, warga yang berhak memilih akan mendapatkan lima lembar kertas suara, yakni Presiden – Calon Wakil Presiden, DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Namun, pesta demokrasi dinilai masih sangat kurang melibatkan para penyandang disabilitas di Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama. Keterbatasan ini pada akhirnya membuat para penyandang disabilitas terhambat atau sulit berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Deperti dikutip dari Tempo, menurut data BPS tahun 2022, terdapat sedikitnya 17 juta penyandang disabilitas dalam usia produktif. Namun berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), hanya sekitar 1,1 juta penyandang disabilitas yang tercatat dalam daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2024.
\”Dari data ini, muncul dugaan bahwa dalam menjaring penyandang disabilitas sebagai pemilih belum secara maksimal dilakukan,\” kata Komisioner Komnas Disabilitas RI, Kikin P. Tarigan, kepada DW Indonesia.
Pada Pemilu sebelumnya, sejumlah penyandang disabilitas memang sudah dapat menyalurkan suara secara independen tanpa intervensi dari pihak mana pun. Namun, jumlahnya belum maksimal.
Permasalahan yang terjadi adalah kurangnya aksesibilitas dan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas, ujar Kikin. Sudah banyak pemberitaan terkait dengan terhalangnya partisipasi penyandang disabilitas ke TPS karena minimnya akses dan pendamping.
Selain itu, penyandang disabilitas mental dan intelektual sering kali tidak punya kesempatan memilih karena minimnya sosialisasi dan dampingan.
Penyandang tuli kesulitan akses informasi
Minimnya akses diakui Ika Irawan, penyandang tuli yang juga Ketua Tim Bisindo dan Aksesibilitas (TIBA) yang mengadvokasi hak-hak penyandang tuli. Ika menyebut bahwa hingga kini, di wilayah tempatnya tinggal, hampir tidak ada sosialisasi pemilu sama sekali.
Bahkan, pada pemilu sebelumnya ia pernah hampir melewatkan giliran ke bilik suara pada pemilihan suara, karena penyelenggara pemilu tidak menyediakan petugas dan tempat pemungutan suara (TPS) yang ramah disabilitas, utamanya bagi penyandang tuli.
\”Dari dulu sampai sekarang enggak meningkat pelayanannya. Di TPS, harusnya informasi nomor antrean bukan cuma diomongkan saja, tapi ada tulisannya karena tuli butuh itu,\” ungkapnya.
Pendapat senada juga dikatakan Ketua Komunitas Mata Hati, Danny Heru. Penyandang tunanetra ini mengungkapkan, asas langsung, umum, bebas dan rahasia (luber) serta jujur dan adil (jurdil) belum bisa terlaksana secara keseluruhan, utamanya yang menyangkut tentang kerahasiaan.
\”Dari pemilu sebelumnya, untuk surat suara mulai DPR RI hingga Kabupaten/Kota belum tersedia template bagi tunanetra, ujarnya.
Ia mengatakan bahwa berdasarkan pengalaman, pada Pemilu 2019 dan sebelumnya, sebenarnya sudah ada kemajuan. Saat itu ada relawan demokrasi dengan basis disabilitas yang sangat membantu untuk sosialisasi.
\”Pada Pemilu kali ini tidak ada lagi, sehingga untuk sosialisasi ada kekurangan. Meski begitu, masih ada audiensi atau pertemuan dari KPU dan Bawaslu yang melibatkan penyandang disabilitas,\” terang Danny Heru.

By admin