Aksi protes selama berbulan-bulan gagal menggerakkan pemerintah Jerman untuk mengubah sikap terhadap Israel. Namun organisasi HAM, yang semakin gencar menyuarakan gencatan senjata, kini mengambil jalan hukum demi menghentikan suplai alutsista untuk perang di Jalur Gaza.
Pekan lalu, sekelompok pengacara di Berlin menuntut pemerintah ke pengadilan untuk melakukan \”aksi segera\” atas nama warga Palestina, menurut Pusat Bantuan Hukum Eropa, ELSC, sebuah lembaga nirlaba yang berkoalisi dengan gerakan solidaritas Palestina.
Gugatan itu berlandaskan tuduhan bahwa \”senjata buatan Jerman digunakan untuk melakukan pelanggaran berat hukum internasional, seperti genosida dan kejahatan perang.\” Pihak penggugat meminta pengadilan untuk menghentikan pengiriman alutsista kepada Israel.
Kasus di Berlin bergulir selaras dengan gugatan kejahatan pada Februari lalu, yang secara spesifik menyasar pejabat tinggi pemerintah seperti Kanselir Olaf Scholz, Menteri Luar Negeri Annalena Baerbock dan Menteri Ekonomi Robert Habeck, yang dianggap bertanggung jawab menyetujui ekspor senjata.
Sejumlah negara Barat lain, seperti Kanada dan Belanda, sudah mengumumkan bakal mengkaji ulang bantuan militer kepada Israel.
Senjata perang dari Jerman?
Gugatan teranyar terhadap pemerintah Jerman secara keseluruhan, terutama menyasar pembekuan ekspor \”senjata perang,\” yang diperlakukan terpisah dengan \”perlengkapan militer lain.\” Senjata perang antara lain mencakup tank dan jet tempur, senjata artileri atau sistem peluru kendali yang sarat prasyarat dan hambatan dalam proses perizinan.
Adapun \”perlengkapan militer lainnya\” sesuai definisi pemerintah di Berlian antara lain, peralatan prajurit seperti helm, pelindung, suplai medis atau berragam keperluan latihan.
Selama periode 20 tahun mulai tahun 2003 hingga 2023, pemerintah Jerman menyetujui ekspor senjata senilai hampir hampir USD 3,6 miliar ke Israel, klaim lembaga investigasi nirlaba di Berlin, Forensis. Lebih dari separuhnya terdaftar sebagai \”senjata perang”, termasuk juga sejumlah kapal selam.
Meski resminya berpihak kepada penggugat, laporan Forensis didasarkan data sumber terbuka dari pemerintah Jerman dan sumber publik lainnya, seperti SIPRI, lembaga penelitian konflik di Swedia. Dalam laporan SIPRI baru-baru ini, Jerman terdaftar sebagai pemasok senjata terbesar kedua bagi Israel, setelah Amerika Serikat, antara tahun 2019 dan 2023.
Kedua negara mewakili hampir seluruh impor senjata Israel. Pada tahun 2022 dan 2023, kuota ekspor senjata Jerman dan AS di Israel berbagi rata masing-masing 50%.
Dalam periode lima tahun terakhir, laporan Forensis mencatat bagaimana nilai \”ekspor aktual” senjata perang ke Israel sengaja \”dihapus” atau \”dirahasiakan,” untuk \”menghindari ‘identifikasi perusahaan terkait\’ dan untuk ‘melindungi perdagangan dan rahasia bisnis,\” mengutip laporan pemerintah Jerman pada tahun 2020.
Pemerintah Jerman menyetujui hampir semua izin ekspor ke Israel sejak tahun 2003. Pada tahun 2023, seiring meletusnya perang di Jalur Gaza, nilai ekspor senjata Jerman ke Israel melonjak sekitar sepuluh kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya dan melampaui rata-rata selama 20 tahun terakhir.
Adu fatwa soal genosida
Pemerintah Jerman tidak membantah angka penjualan senjata ke Israel. Namun Berlin menolak tuduhan bantuan genosida seperti dalam gugatan Nikaragua di Mahkamah Internasional, ICJ.
\”Gambaran yang disampaikan Nikaragua sangat tidak akurat, lebih parahnya, itu secara keliru menafsirkan situasi aktual,\” kata Christian Tams, Guru Besar Hukum Internasional di Univesity of Glasgow, Skotlandia, di hadapan majelis hakim di ICJ, Selasa (9/4).

By admin