Sebagai calon imam, Frater Henrikus Prasojo dari Kongregasi Oblat Maria Immakulata (OMI) harus menjalani studi S2 di Roma, Italia. Namun di sana, tugasnya bukan hanya belajar, melainkan juga menjalankan berbagai misi perutusan.
\”Perutusan utamanya studi, tapi ada juga kegiatan pastoral mingguan, asistensi Natal, asistensi Paskah. Dan beberapa kali kami menghadapkan namanya misi populer untuk merangkul paroki-paroki yang membutuhkan,\” ucap pria yang akrab disapa Frater Pras ini kepada DW Indonesia.
Satu grup misi populer ini, kata dia, terdiri dari 20 misionaris (frater, bruder, suster, dan pastor) Bersama dengan 20 Orang Muda Katolik (OMK) yang menjadi relawan.
\”Misi populer itu biasanya juga kita melakukan kunjungan ke tempat umat yang sudah jarang ke gereja. Semacam disapa lagi, jadi kalau ada keraguan atau masalah kan saja terbantu. Lalu ada kegiatan-kegiatan rohani misalnya Pentahtaan Sakramen Mahakudus, lalu adorasi keliling kota,\” ucap pria yang baru saja baru saja kembali ke Indonesia pada 2 Juli 2024 ini.
Saat ini dia bertugas di Paroki Kalideres, Jakarta Barat.
Dia sendiri pernah mengikuti berbagai misi populer ke berbagai kota di Italia seperti Calabria dan Lazio. Dua tahun berada di Roma, Frater Pras, menemukan berbagai fakta dan tantangan untuk menyebarkan misi Kekatolikan di sana.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Lunturnya kepercayaan warga Eropa terhadap gereja
Di Italia, yang notabene dianggap sebagai salah satu negara yang dekat dengan pusat Katolik di dunia, dia masih menemukan tantangan berat lantaran jumlah umat yang terus turun.
\”Kalau Italia, setiap tahun pasti ada yang namanya baptisan, komuni pertama, dan krisma. Hampir di setiap paroki itu masih ada, cuma ya gitu penghayatannya sudah berkurang, khususnya karena kultur dari nenek moyang mereka begitu.\”
Frater Pras juga mengalami beberapa penolakan saat menjalankan misinya.
\”Saya pernah jadi utusan paroki untuk pemberkatan rumah saat Paskah. Tapi begitu sampai sana, saya ketuk pintunya dan sampaikan niat, si pemilik rumah bilang kalau dia akan memberkati sendiri rumahnya,\” katanya.
Selain itu, dia juga pernah mengalami penolakan lain. Suatu kali, dia pernah menegur seorang anak kecil yang tengah bermain, dia pun merasa mata orang tua si anak melotot menatapnya.
\”Ternyata, setelah saya tanya ke pastor paroki, mereka pernah mengalami abuse sekitar 12 tahun lalu. Dari situlah kepercayaan kepada imam mulai luntur.\”
\”Tapi tentu saja, tidak semuanya begitu. Ada banyak juga senangnya dan yang menerima dengan baik. Kalau di Eropa itu, melakukan misi memang harus lebih ekstra. Harus berani terjun dan berani ditolak juga. Tapi itu tidak menyurutkan semangat saya, malah sebenarnya makin tertantang.\”
Tantangan menjadi pastor di Eropa