Keluarga Pawo Choyning Dorji sebenarnya berasal dari bagian timur Bhutan.
Di sana jika seorang anak meminta orang tuanya untuk menceritakan sesuatu, maka mereka meminta agar orang tuanya \”menguraikan simpul.\”
Film terakhir yang disutradarai Dorji, \”The Monk and the Gun\” atau biksu dan senapan, adalah cara mengurai simpul yang menjadi transisi sosial, politik, dan kebudayaan di negaranya di pertengahan tahun 2000-an.
Ia mengatakan, ia besar di perode transisi tersebut.
Tepatnya ketika negaranya menjadi negara terakhir di dunia yang mengizinkan penggunaan televisi, internet, dan bersamaan dengan itu mengizinkan demokrasi untuk hadir, kata Dorji.
Namun, sebagai orang Bhutan yang tinggal di India, di mana ayahnya bekerja sebagai diplomat dan hanya pulang di masa liburan sekolah, dia punya sudut pandang unik atas perubahan yang terjadi di kerajaan di pegunungan itu.
\”Kami punya pepatah di Bhutan, yaitu: kamu tidak bisa melihat bulu mata kamu, karena terlalu dekat dengan mata. Bagi saya, itulah situasinya. Banyak orang Bhutan ketika itu tidak bisa melihat perubahan dan dampaknya, karena terlalu dekat dengan mereka,\” demikian dikatakan Dorji dalam wawancara dengan DW di ibu kota Bhutan, Thimphu.
\”Bagi saya, sebagai orang Bhutan yang tinggal di luar negeri, perubahan di masyarakat dan kebudayaan tampak jelas, dan saya pikir itu bisa jadi cerita hebat untuk dibagikan ke dunia. Cerita dari mana asal kita, orang Bhutan, dan ke mana kita beralih.\”
Kisah film itu ditempatkan tahun 2006, ketika Bhutan beralih menjadi demokrasi dan pemerintah mengorganisir contoh pemilu agar rakyatnya tahu bagaimana cara memberikan suara.
Dalam sebuah plot yang saling terkait, seorang kolektor senjata antik asal Amerika Serikat (AS) tiba di sana untuk mencari senapan legendaris yang jatuh ke tangan seorang biksu.
Komedi, ketegangan, dan satir politik
Kisahnya adalah satir politik dan komedi halus yang mengikutsertakan elemen ketegangan, dipadu dengan skenario menyentuh.
Begitu Dorji menggambarkan film tersebut. Penonton dari bagian dunia berbeda memberikan reaksi pada elemen yang berbeda dalam film, ditambahkannya.
Ketika film itu ditayangkan pertama kali di Telluride Film Festival di Colorado, tanggal 1 September, penonton tertawa akibat satir politiknya, sementara di Korea Selatan, penontonnya memberikan reaksi atas kisah keluarga di dalamnya. Namun, yang paling kuat adalah reaksi di negaranya sendiri, kata Dorji.
\”Ketika film diputar di Bhutan, suasananya sangat indah, karena di sebuah bioskop, penonton menangis dan jadi sangat emosional, karena mereka merasa tersentuh secara sangat pribadi dalam perasaan kehilangan keaslian mereka, karena mereka melalui proses perubahan dan transisi.\”
Bukan film pertama dari Bhutan untuk nominasi Piala Oscar

By admin