Meghana AT, seniman teater dari Mumbai, adalah pencipta pertunjukan interaktif \”Plan B/C/D/E.\” Sepanjang pertunjukan, dia berbicara tentang kecemasannya terhadap iklim dan mencoba mencari solusi untuk menghadapi ancaman perubahan iklim bersama penonton.
\”Saya senang bertanya kepada para penonton, kapan pertama kali mereka mendengar tentang perubahan iklim… Banyak orang muda seperti saya yang tumbuh dewasa dan selalu mendengar hal ini, sampai-sampai kita tidak ingat kehidupan, di mana kita tidak tahu tentang perubahan iklim. Kita benar-benar tidak pernah mengenal dunia yang tidak berada di ambang jurang bencana.\”
\”Kita mempunyai lebih banyak akses terhadap informasi dan berita dari seluruh dunia. Penting untuk tetap mendapatkan informasi dan bersikap waspada, tapi terkadang hal ini bisa membuat kewalahan,” tambahnya.
Sebuah studi yang dilakukan oleh ICICI Lombard, salah satu perusahaan asuransi umum terbesar di India, menunjukkan bahwa Gen Z dan generasi milenial India jauh lebih rentan terhadap stres dan kecemasan dibandingkan generasi yang lebih tua.
Sekitar 77% orang India menunjukkan setidaknya satu gejala stres, dan 30 persen warga India berjuang melawan stres dan kecemasan. Namun generasi muda India, terutama dari kelompok Gen Z, lebih mungkin terkena stres, kecemasan, dan penyakit kronis, kata penelitian tersebut.
Semakin banyak orang perlu bantuan
Mohit, 24 tahun, asal New Delhi, mengatakan kepada DW bahwa banyak rekannya merasa sulit untuk beralih dari dunia perkuliahan ke tahap awal karir mereka.
\”Sebagian besar perkuliahan saya terjadi pada masa pandemi. Setelah semuanya terbuka kembali, saya tiba-tiba menjadi seorang pekerja profesional,” ujarnya.
\”Saya juga merasa banyak tempat kerja yang buruk dengan life balance yang buruk. Generasi saya tidak akan tahan dengan hal itu.”
Sentimen ini didukung oleh penelitian yang menunjukkan adanya penurunan kesejahteraan di tempat kerja, terutama pada pekerja perempuan dan Generasi Z. Pandemi ini \”telah mengubah tempat kerja secara mendasar, dan para pekerja mengharapkan kesejahteraan mental yang lebih baik,” kata survei tersebut.
\”Ada tekanan untuk menyesuaikan diri dengan budaya hiruk pikuk – di mana generasi muda merasa perlu terus-menerus memaksakan diri,” kata Pratishtha Trivedi Mirza, psikolog klinis senior di organisasi kesehatan mental Amaha, kepada DW.
\”Ini bermanifestasi sebagai kecemasan, karena merasa tidak berbuat cukup atau tidak mencapai sebanyak yang mereka pikir seharusnya.\”
\”Selain itu, generasi muda juga sering membandingkan diri mereka dengan rekan-rekan atau bahkan idola mereka, selebriti, influencer, orang-orang di industri terkait, dan akhirnya mereka menilai dirinya sendiri secara negatif — yang mengakibatkan masalah rendahnya rasa harga diri.\”
Sebuah laporan dari Sapien Labs Centre for the Human Brain and Mind di Universitas Krea menyebutkan, sekitar 51% pemuda India (didefinisikan sebagai usia 18-24 tahun) mengalami kesulitan atau tekanan. Laporan tersebut berdasarkan informasi yang dikumpulkan dari responden yang memiliki akses internet antara April 2020 hingga Agustus 2023. Laporan tersebut juga menunjukkan adanya penurunan kesejahteraan mental pasca pandemi.
\”Di usia saya, orang tua saya sudah siap menikah dan berkeluarga. Tapi saya rasa saya belum siap dengan itu. Apa gunanya punya anak? Berita buruk ada di mana-mana, tidak ada yang bisa diharapkan. tentang hal itu,\” kata Anisha, seorang pelajar berusia 22 tahun dari Bengaluru kepada DW.
Semakin banyak orang perlu bantuan