Ingatan saya seolah terlempar pada peristiwa kelam Mei 1998, saat asap hitam membumbung tinggi di udara, suara raung-raung knalpot motor militer yang memekakkan telinga.
Hingga hari ini, kerusuhan Mei 1998, menggoreskan luka dalam bagi keluarga korban dari tragedi penculikan aktivis, penembakan aktivis mahasiswa, perkosaan massal warga etnis Tionghoa, kematian massal warga Jakarta yang terbakar hidup-hidup di mal dan kepedihan lainnya.
Pemerintah hanya mengakui peristiwa Mei 1998 sebagai pelanggaran HAM masa lalu, tanpa tindakan nyata rehabilitasi, rekonsiliasi, penghukuman atas kejahatan kemanusiaan dan lainnya, bahkan aparatur negara yang terlibat aktif sebagai pelaku pelanggar HAM tidak sedikit pun meminta maaf pada rakyat Indonesia.
Saya turut berempati, bersimpati dan berduka sangat dalam atas luka kemanusiaan itu. Tanpa bisa berbuat apa-apa untuk meringankan beban keluarga korban.
Saya hanya menjadi pendengar setia orang tua (almarhum) kawan-kawan saya yang kehilangan belahan jiwa mereka. Dengan kalimat yang sangat klise dan monoton, \”Sabar ya Bu, semoga Tuhan memberikan jalan keadilan!\”
Menanti kesungguhan pemerintah
Namun bagaimana keadilan dapat dicapai, jika pemerintah Indonesia tidak memiliki niat baik untuk mewujudkan keadilan atas kekacauan yang terjadi pada Mei 1998?
Meski Aksi Kamisan sudah berlangsung selama 17 tahun di depan Istana Merdeka, tempat Presiden Joko Widodo berkantor, serta konsisten dilakukan oleh para keluarga korban dan penggiat HAM.
Sampai hari ini Sumarsih (ibu almarhum Bernardinus Realino Norma Irmawan alias Wawan) tidak pernah menanggalkan baju warna hitamnya, sebelum keadilan ditegakkan. Ironisnya, sampai hari ini tidak ada pencapaian keadilan bagi korban dan keluarga korban.
Belajar dari Rwanda
Tidak bisakah pemerintah Indonesia mengadopsi langkah pemerintah Rwanda? Bayangkan 30 tahun lalu, Rwanda adalah negara yang paling hancur di dunia, terbelenggu peristiwa genosida yang menewaskan 800.000 jiwa, menurut laporan PBB. Belum lagi perbedaan angka menurut laporan lembaga kemanusiaan independen dan organisasi lainnya, bisa mencapai angka 1 juta jiwa.
Pada akhirnya, Rwanda menjadi negara yang bangkit dari bayang-bayang genosida. Hingga hari ini, riwayat HAM Indonesia masih terpuruk, pemerintah Indonesia tidak pernah mengakui genosida yang terjadi pada 1965.
Sedangkan pemerintah Rwanda mengakui kejahatan kemanusiaan di masa lalu dan meminta maaf secara terbuka pada seluruh rakyat Rwanda.
Pada Juli 1994, Pemerintah Persatuan Nasional Rwanda dibentuk oleh RPF, yang terdiri dari pejabat Hutu dan Tutsi, menandai berakhirnya perpecahan yang mengakar kuat, mencabik-cabik negara sebagai negara miskin yang memiliki rekam jejak konflik bersenjata yang paling berdarah, kejam dan mengerikan.
Rwanda melakukan upaya rekonsiliasi dengan merombak konstitusi, menghapus kategori etnis Hutu dan Tutsi pada KTP alias kartu identitas. Warga Rwanda tidak didefinisikan dengan label Hutu dan Tutsi, pemerintah Rwanda merangkul dan menyatukan identitas bersama sebagai warga Rwanda yang bersatu dalam rasa kemanusiaan yang sama.
Lihatlah Rwanda hari ini, demokrasi di Rwanda menjadi lebih baik. Para pelaku kejahatan HAM dari level teratas, pangkat jenderal bintang empat alias panglima tertinggi dalam militer, meminta maaf secara terbuka pada rakyat Rwanda. Bonus lainnya, keterwakilan perempuan di parlemen jadi yang tertinggi di dunia.

By admin