Tiba di Gaza pada pertengahan Agustus 2024, bersama rekan-rekan Tim Medis Darurat (EMT) gelombang kelima dari Medical Emergency Rescue Committee (MER-C), dokter Tri Asmaningrum Larasati langsung sibuk menangani para pasien yang didatangkan ke Rumah Sakit Indonesia di utara Gaza.
Beberapa hari kemudian, di tengah-tengah ia mondar-mandir seharian mengoperasi pasien-pasien, dokter Larasati menggunakan sejenak waktunya beristirahat untuk menceritakan bagaimana pengalamannya berdinas di Gaza.
DW: Dari beberapa hari bertugas di Rumah Sakit Indonesia ini, apa sebenarnya yang menurut dr. Larasati lihat sebagai tantangan yang paling berat yang dihadapi dalam menjalankan tugas di sana, di bidang medis?
Bukan di sini RS Indonesia di utara Gaza-nya yang bagi saya yang paling berat. Melainkan proses menunggu untuk bisa sampai ke RS Indonesia ini yang paling berat, di mana kami ingin masuk, sampai bisa berhasil ke sini…itu bukan suatu hal yang mudah.
Dari Jakarta, bagaimana kami sudah meneguhkan hati ingin berangkat, sampai kami harus sempat menunggu di Jordania, di perbatasan. Proses perjalanan yang panjang. Mungkin itu tantangan terberatnya di situ karena menunggu dengan penuh ketidakpastian dengan suasana baru yang terus berubah itu yang paling berat. Dis etiap perbatasan selalu menjalani pemeriksaan, kadang harus kembali lagi ke lokasi awal.
Sampai di sini, listrik tidak ada, terbatas.
Sebelumnya saat awal-awal kami di Gaza Selatan, mungkin situasi air yang sulit, terpaksa minum air asin. Makan seadanya. Bagaimana kami harus bisa mengurus diri, karena kami susah mau bawa uang ke dalam saja juga susah. Walaupun uang itu belum tentu berguna. Tetapi secara teknis, itu semua terprediksi.
Kalau pengalaman di RS Indonesia ini?
Di RS Indonesia di Gaza ini listriknya hanya mengandalkan generator. Jadi pasti ada mati listrik. Memang mereka mengusahakan sekali untuk rumah sakit supaya mendapat listrik. Tapi ada periode-periode mati listrik. Ada solar panel kecil yang kapasitasnya sedikit. Jadi biasanya sampai jam tertentu, panelnya menyala, nanti mati. Kalau panel mati, ada pergantian, langsung coba diganti dengan generator. Tetapi hanya seadanya. Solar panel digunakan hanya untuk cahaya lampu. Jadi kalau diharapkan kamar operasinya ber-AC, ya tentu enggak ada.
Kamar operasi seadanya. Ada beberapa waktu, terkadang kami bisa pakai kipas angin. Tetapi itu semua serba terbatas, serba sederhana tetapi kami bisa berfungsi sebagai rumah sakit.
Tetapi enggak ada yang sedang operasi tiba-tiba generator mati?
Ada, (pernah) mati. Jadi, kami menyoroti dengan lampu telepon genggam. Ketika kami pertama kali di bawah itu operasi dalam kegelapan. Perawat di dalam kamar operasi yang menyoroti dengan lampu HP. Waktu kami masih baru hari pertama datang. Paling di tengah operasi, ada periode mati (listrik) tapi bukan pengalaman yang luar biasa karena itu sudah sering terjadi, mati untuk beberapa saat, satu hingga dua menit, setelah itu menyala kembali.
Saya pernah tanya ke dokter lokal yang pernah bekerja di sana, bagaimana kalau mesin anestesinya mati atau ventilatornya mati?
Ya sudah, katanya. Berarti kami pompa manual saja memakai tangan. Kami pompa manual, nanti setelah listrik menyala, kami sambung lagi dengan mesinnya.