Momentum pencoblosan Pemilu 2024 tinggal menghitung hari. Semakin dekat langkah menuju kotak suara, justru tak sedikit masyarakat merasakan kecemasan dan kegelisahan.
Situasi ini disebut sebagai “election stress disorder” atau kondisi stres karena politik dan pemilu. Sebuah istilah yang dipopulerkan psikolog asal Washington D.C., Steven Stonsy saat ia mengaku kewalahan menghadapi keluhan kesehatan mental dari pasiennya selama Pilpres Amerika Serikat 2016 silam.
Di Indonesia, situasi ini sudah bisa ditangkap melalui komentar emosional warganet di media sosial, atau tekanan untuk memilih capres-cawapres tertentu yang makin agresif di lingkungan sekitar. Dalam sejumlah kasus pendukung fanatik mudah tersulut emosinya, dan memicu terjadinya kasus kekerasan.
Sejumlah ahli kejiwaan memperingatkan isu kesehatan mental terhadap pendukung fanatik capres-cawapres tertentu.
‘Saya ingin pemilu cepat selesai’
Pemilu 2024 akan menjadi momen bersejarah bagi Ahsya Divana, karena untuk pertama kalinya perempuan 18 tahun ini menggunakan hak suaranya.
Alih-alih menyambut antusias dan gembira, Ahsya justru makin cemas pada hari-hari menjelang pencoblosan. Ia menghadapi paparan berita pemilu yang semakin besar dan perang opini antara pendukung capres-cawapres di media sosial.
“Sudah sumpek, dulu sempat ngomongin politik seru, tapi makin ke sini orang-orang makin agresif,” kata Ahsya yang sejauh ini belum menentukan pilihan.
Selama masa kampanye pemilu berlangsung, lingkungan keluarga, dan lingkaran pertemanan Ahsya juga berubah. Topik pemilu selalu mewarnai setiap pembicaraan, terkadang ada saja yang memaksakan pilihan mereka pada Ahsya.
“Kan lagi liburan nih, ngomonginnya politik lagi, agak pusing. Agak sumpek juga kalau ngomonginnya dikit-dikit politik. Kayak lagi ke salon, politik, lagi beli ketupat tahu – politik lagi. Kayak nggak ada bahasan lain,” tambah Ahsya.
Untuk menjaga agar emosinya tetap baik, sekarang Ahsya memilih menarik diri dari hal-hal berbau pemilu.
Naomi, warga Jakarta yang belum menentukan pilihan, juga mengaku jenuh dan cemas dengan paparan perang opini antar pendukung capres-cawapres di media sosial.
Demi menghindari kecemasan yang semakin menjadi, ia memanfaatkan algoritma media sosial untuk menghindari topik-topik pemilu yang bermunculan. Caranya, ia kerap mencari topik lain yang disukai seperti “tutorial make up”.
“Sekarang media sosial aku itu nggak ada politik-politikan,” kata Naomi, sambil mengutarakan harapan agar pemilu ini, “cepat-cepat selesai”.

By admin