Mata dan perhatian dunia saat ini tengah tertuju kepada Indonesia. Negara dengan penduduk muslim terbesar sedunia ini melangsungkan pemilihan umum (pemilu) presiden dan legislatif secara serentak pada Rabu (14/02).
Setelah 10 tahun, warga Indonesia pun akan kembali memilih presiden dan wakil presiden baru mereka. Selain itu, warga yang punya hak suara juga akan memilih perwakilan legislatif, anggota Dewan Perwakilan Rakyat di tingkat nasional, provinsi serta kabupaten/kota serta anggota Dewan Perwakilan Daerah.
Masa kampanye pemilu yang dimulai sejak 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024, diharapkan memberi cukup waktu bagi warga untuk menentukan pilihan mereka baik itu pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 1, 2, atau 3.
Tiga hari menjelang Pemilu 2024, sesuai Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilihan Umum, Indonesia pun memasuki masa tenang, sehingga segala aktivitas kampanye tidak diperbolehkan.
Apa kata pengamat tentang persiapan pemilu?
Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Aditya Perdana mengatakan, dari segi persiapan dan logistik, Indonesia sudah punya pengalaman panjang dalam menyelenggarakan pemilu serentak. \”Jadi tidak begitu ada masalah yang berarti tentang logistik. Kalaupun ada kekhawatiran itu adalah yang di luar negeri seperti di Malaysia,\” ujar Aditya kepada DW Indonesia.
Sedangkan dari segi kontestasi, isu pemilu kali ini bergeser. \”Bukan lagi politik identitas hingga pendukung para calon terbelah sampai ada istilah cebong dan kampret. Hari ini tidak begitu. Ada 3 paslon dan isunya lebih ke isu keberlanjutan dan perubahan,\” ujar Aditya yang juga adalah Direktur Eksekutif Algoritma Research and Consulting.
Namun ia menyoroti hal yang juga telah banyak dikritisi oleh para aktivis, masyarakat sipil dan mahasiswa tentang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal batas usia calon presiden dan calon wakil presiden. Seperti diketahui, pada 2023 MK mengeluarkan keputusan yang diduga mengakomodasi putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming untuk ikut berlaga dalam kontestasi pemilu.
\”Putusan ini, pada akhirnya dianggap banyak menguntungkan paslon (pasangan calon) no. 2 dan ini banyak dianggap sebagai pertarungan yang tidak adil bagi yang lain,\” ujarnya.
Makin banyak warga turut awasi pemilu
Sementara Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, ada sejumlah perbaikan bila dibandingkan dengan penyelenggaraan Pemilu 2019, utamanya dalam membantu tugas KPPS. \”Misalnya seleksi yang lebih awal dan terencana, memperhitungkan stamina KPPS dalam menyelenggarakan pungut hitung di TPS,\” ujar Titi Anggraini kepada DW Indonesia.
Ia mencontohkan bahwa tahun ini ada pemberlakuan batas atas usia maksimal 55 tahun bagi KPPS, pemeriksaan kesehatan yang bekerjasama dengan instansi kesehatan, serta peningkatan honorarium petugas.
\”Juga adanya anggaran untuk penggandaan printed scanner agar tidak menyalin manual hasil penghitungan suara yang pada pemilu 2019 makan waktu lama dan berdampak kelelahan para petugas,\” kata Titi Anggraini menambahkan.
Selain itu, menurutnya, penggunaan sistem teknologi informasi SIREKAP diharapkan mampu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas hasil di TPS karena mengunggah foto dari Form C Hasil Plano langsung dari TPS.
Satu hal positif yang ia amati pada pemilu kali ini adalah banyaknya gerakan masyarakat sipil untuk mengawal proses pemilu.
\”Pemilu kali ini juga melahirkan banyak gerakan masyarakat sipil yang mau ambil peran mengawal proses pemilu dan pungut hitung di TPS. Misalnya jagapemilu.com, jagasuara2024, Kawal Pemilu, jagasuaramu.id, serta masih banyak lagi yang lain. Ini tentu jadi dinamika positif bagi pemilu Indonesia 2024.\”