Penyandang disabilitas Tuli, Naufal Athallah, terpaksa melepaskan alat bantu dengarnya (ABD) saat mengikuti ujian seleksi universitas karena mengaku disuruh panitia dan bahkan dicurigai sebagai joki.
Ketua Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) DKI Jakarta, Leindert Hermeinadi, mengatakan kejadian itu memperlihatkan kurangnya pemahaman atas hak-hak para penyandang disabilitas.
“Kita disuruh lepas alat yang vital bagi kita, seperti alat bantu dengar. Dia mau tes tapi enggak boleh dengar. Berarti kan pemahamannya tentang disabilitas rendah,” kata Leindert kepada BBC News Indonesia, Kamis (20/06).
Seorang perwakilan dari Tuli Indonesia, Cristophorus Budidharma, mengatakan apa yang dialami Naufal adalah satu dari beragam tantangan yang dihadapi oleh penyandang Tuli.
Bukan hanya tentang ABD, Cristophorus bahkan mengatakan ada penyandang Tuli yang “dipaksa ikut tes listening dan speaking bahasa Inggris, dan masih banyak isu lainnya,” katanya.
Komisi Nasional Disabilitas melihat minimnya pemahaman dan pemenuhan hak penyandang disabilitas disebabkan oleh pelaksanaan regulasi di lapangan yang masih lemah, baik di dunia pendidikan maupun kehidupan sosial masyarakat.
Pihak Universitas Indonesia yang menjadi tempat berlangsungnya ujian tulis berbasis komputer (UTBK) itu mengatakan bahwa tes yang dijalani Naufal bersifat visual, \”sehingga seorang peserta tuna rungu tidak membutuhkan asistensi atau bantuan apa pun. Semua instruksi ujian ditampilkan di layar,\” kata Kepala Humas UI, Amelita Lusia.
BBC News Indonesia telah menghubungi Kepala Balai Pengelolaan Pengujian Pendidikan (BP3) Kemendikbud Ristek, Rahmawati, namun hingga berita ini diturunkan belum ada tanggapan.
\’ABD adalah penyelamat hidup saya\’
Naufal Athallah, 18 tahun, adalah penyandang disabilitas Tuli sejak usia tiga tahun dan menggunakan alat bantu dengar (ABD) pada usia empat tahun.
ABD bagi Naufal memiliki peran yang penting dalam hidupnya. “ABD adalah penyelamat hidup saya. Soalnya itu alat yang membuat saya bisa mendengar, bisa mengobrol tanpa bahasa isyarat, dan memahami keadaan,” kata Naufal kepada wartawan BBC News Indonesia, Kamis (20/06).
Namun, ABD itu harus dia tanggalkan saat mengikuti UTBK Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT) di Universitas Indonesia, pada 14 Mei lalu, bersaing dengan siswa sekolah tingkat atas lainnya untuk memperebutkan kursi universitas negeri.
”Saya berharap di SNBT. Jangan sampai di [jalur] mandiri soalnya biayanya mahal. Dari SNBT saya berjuang dan semangat belajar untuk masuk PTN yang saya impikan,” katanya.
Siswa kelas 12 SMK di Tangerang Selatan itu bercerita, saat pendaftaran SNBT tidak ada opsi bagi penyandang tunarungu, tapi hanya untuk tunanetra dan tunadaksa. ”Panitia bilang kalo tidak ada opsi tidak usah diklik,” katanya.

By admin