Puluhan ribu nyawa telah melayang akibat perang antara Israel dan Palestina.
Suara-suara perdamaian kini telah menggema di berbagai belahan dunia. Apa harga yang harus dibayar untuk terciptanya perdamaian?
Bisa sampai di pengujung hari dan bertahan hidup di malam hari terasa seperti keajaiban bagi mereka yang tinggal di Jalur Gaza.
Palestina \”memohon keselamatan\”, tulis Philippe Lazzarini, ketua UNRWA, lembaga bantuan utama PBB di Gaza, dalam \”tragedi yang tak berujung dan mendalam … neraka di bumi\”.
Perasaan seperti neraka juga dialami oleh orang-orang yang disandera oleh Hamas dan bagi keluarga korban. Perang adalah tungku kejam yang menempatkan manusia dalam penderitaan yang mengerikan.
Tetapi panasnya dapat menghasilkan perubahan yang tampaknya mustahil.
Perubahan itu terjadi di Eropa barat setelah Perang Dunia II. Musuh-musuh lama yang saling membunuh selama berabad-abad memilih untuk berdamai.
Apakah perang di Gaza akan mendorong Israel dan Palestina untuk mengakhiri konflik berabad-abad mereka atas tanah yang terletak antara Laut Mediterania dan Sungai Yordan?
Janda dari Muhammad Abu Shaar
Saya menonton video yang menunjukkan seorang perempuan yang tersungkur dengan kesedihan. Ia duduk di samping jasad suaminya, Muhammad Abu Shaar.
Karena Israel dan Mesir tidak mengizinkan jurnalis masuk ke Gaza, saya belum bertemu dengannya. Saya tidak mengetahui namanya, karena tidak diunggah seperti nama suami dan anak-anaknya yang sudah meninggal.
Dalam video itu, ia terlihat berharap, entah bagaimanapun, agar kekuatan dari kesedihannya dapat membangkitkan suaminya kembali dari kematian.
\”Saya bersumpah, kami berjanji untuk meninggal bersama. Kamu mati dan meninggalkanku,\” ratap perempuan tersebut.
\”Apa yang harus kami lakukan, Tuhan? Muhammad, bangunlah! Demi Tuhan kekasihku, aku bersumpah demi Tuhan, saya mencintaimu. Demi Tuhan, bangunlah. Anak-anak kami Nour dan Aboud ada di sini bersamamu. Bangun.\”