Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879 di Jepara. Tanggal kelahirannya tersebut kini diperingati sebagai Hari Kartini, sesuai namanya.
Sebagai anggota keluarga ningrat, Kartini senantiasa mendekatkan diri dengan pribumi di tanah Jawa atau Hindia Belanda, sebutan bagi sebuah wilayah sebelum ada negara Indonesia saat itu.
Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, Kartini identik dengan pejuang pendidikan karena perempuan itu mendirikan sekolah bagi anak-anak perempuan pribumi untuk pertama kalinya di tanah Jawa.
Semakin didalami sejarahnya, semakin banyak ditemukan sisi-sisi yang menjadi keprihatinan dan pikiran-pikiran bernasnya dan tindakannya yang melampaui zaman, melampaui usia dan melampaui batas-batas kewilayahan negeri terjajah.
Dalam buku yang ditulis oleh Pramodya Ananta Toer yang judulnya \”Panggil Aku Kartini Saja” (2003), Kartini sebagai keturunan ningrat anak bupati Jepara, Raden Mas Adipati Sosroningrat harus hidup berjarak dan terpisah dengan rakyat jelata.
Namun ia berusaha melepas batas identitas kelas ini dengan cara mencintai, menghargai, memikirkan kesulitan, menghayati kemelaratan dan penderitaan rakyatnya.
Meski Kartini ada dalam kungkungan tradisi feodal yang keras dan tidak memungkinkan dapat bergaul dengan rakyat jelata, pada suatu ketika Kartini masih sanggup menemukan seorang bocah umur enam tahun yang sedang berjualan rumput.
Bocah ini diikuti hingga sampai rumahnya dan Kartini menemukan dua adik si bocah yang dia urus sendiri, karena emaknya pergi bekerja.
Mereka belum makan dan hanya makan nasi sehari satu kali, ketika emaknya pulang mendapatkan upah.
Kartini melihat di luar dirinya begitu banyak derita dan kemelaratan yang dialami rakyat. Ia menuliskan \”seakan udara menggetar oleh ratap tangis, erang dan rintih orang-orang sekelilingku. Dan lebih keras lagi daripada erang dan rintih itu, mendesing dan menderu di kupingku: Kerja! Kerja! Kerja! Perjuangkan kebebasanmu! Baru kemudian kalau kau telah bebaskan dirimu sendiri dengan kerja, dapatlah kau menolong yang lain! Kerja! Kerja! Aku dengar begitu jelas, nampak tertulis di depan mataku…”
Isu-isu gender yang masih menjadi pekerjaan panjang hingga kini
Di penghujung abad XIX Kartini sudah mengobarkan api perlawanan, sebuah perjuangan luar biasa dilakukan oleh perempuan pada zamannya.
Kartini perempuan muda pemberani meski ada dalam lingkaran kuasa tradisi feodal yang membelenggu perempuan, ia tetap melawan pingitan, perkawinan anak, perdagangan perempuan dan anak, poligami, dan pembatasan terhadap ruang gerak perempuan di segala lini kehidupan.
Di antara peliknya situasi perempuan, ia juga memikirkan kesejahteraan rakyat bumiputera, kesehatan maupun pendidikan. Ia tak pernah menyerah untuk mengajarkan cara berfikir kritis terhadap ketidakadilan oleh siapapun dan alasan apapun.
Kartini memperjuangkan pemikirannya dengan penuh tantangan dan rintangan, tanpa iklim yang mendukung kebebasan berekspresi maupun keterbukaan politik seperti sekarang.

By admin