Kegelisahan tampak di raut wajah Erni Menyan, yang tahun ini genap berusia 68 tahun.
Di usia senja, transpuan yang sehari-hari berprofesi sebagai pengamen ini berharap tak membuat susah komunitasnya, apalagi kala ajal menjemputnya.
Di usia yang tak lagi muda, Erni memilih tinggal di Waria Crisis Center, tempat tinggal bagi transpuan yang sudah memasuki usia lanjut di Yogyakarta.
Selain dirinya, ada sejumlah waria lain yang tinggal di sana, seperti Ernawati, Lastri, Jamilah dan Erni Dadang.
Sayangnya, teman sejawatnya Erni Dadang berpulang pada pengujung 2022 silam.
Naas, klaim jaminan kematian dari BPJS Ketenagakerjaan (BPJS-TK) yang dia miliki tak bisa dicairkan karena surat wasiatnya tak diakui. BPJS-TK hanya mencairkan biaya pemakamannya.
BPJS-TK – lembaga yang diselenggarakan pemerintah untuk memberikan perlindungan sosial ekonomi bagi pekerja – mensyaratkan surat wasiat dan ahli waris untuk pencairan klaim jaminan kematian.
Mengetahui realitas sulitnya mencairkan klaim jaminan kematian bagi kelompok waria yang tak memiliki ahli waris sepertinya, Erni Menyan khawatir hal yang sama akan terjadi padanya.
“Kalau kita meninggal, [jaminan kematian tidak cair] enggak ada dana, kita enggak bisa dikubur,” ujar Erni Menyan kepada wartawan Furqon Ulya Himawan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Meninggalnya Erni Dadang tak hanya menyisakan kesedihan dan kegelisahan kelompok transpuan, tapi juga membuka realitas betapa diskriminasi dan ketidakadilan selalu mereka alami, bahkan ketika sudah meninggal dunia.
“Enggak gampang jadi waria. Saya juga enggak mau jadi waria, Tapi mau enggak mau harus saya jalani,” aku Erni Menyan.
Saat ini terdapat 163 transpuan lansia miskin peserta BPJS-TK, menurut komunitas Perkumpulan Suara Kita – organisasi yang memperjuangkan kesetaraan dan keadilan bagi kelompok LGBTQI.
Tapi sayangnya, ketika meninggal dunia, klaim jaminan kematian mereka kerap ditolak pihak BPJS-TK dengan alasan tidak memiliki ahli waris atau surat wasiat tidak diakui.

By admin