Rapa Nui atau Pulau Paskah di Selatan Samudera Pasifik sejak lama dikenal lewat ratusan patung monolit raksasa bernama Moai.
Hingga kini, tidak jelas untuk tujuan apa bangsa Rapanui memahat monumen tersebut.
Namun keberadaannya mengindikasikan jumlah populasi yang besar dan peradaban yang maju.
Sekitar tahun 1210, nenek moyang orang Polinesia masa kini pertama kali menetap di pulau vulkanik tak berpenghuni itu.
Tidak ada manusia lain di dunia yang hidup begitu terisolasi.
Jarak Pulau Paskah hampir 3.800 kilometer ke daratan Chili dan 1.900 kilometer ke pulau berpenghuni terdekat.
Ilmuwan berasumsi bahwa populasi di Rapa Nui sempat berkembang pesat.
Penduduk menebang semua pohon di pulau itu untuk membangun Moai atau sebagai kayu bakar, membunuh burung laut dan menggarap sebagian besar lahan untuk pertanian.
Ketika kerusakan lingkungan merajalela, peradaban Rapanui pun perlahan punah. Untuk waktu lama, pulau ini dianggap sebagai bukti \”ekosida” buatan manusia.
Temuan terbaru sains
Namun sebuah studi teranyar oleh Columbia University, Amerika Serikat, membantah asumsi tersebut. Menurut ilmuwan, populasi Rapa Nui tidak pernah meledak melampaui batas keberlanjutan.
Sebaliknya, para pendatang menemukan cara beradaptasi dengan kondisi iklim yang dingin dan berangin. Selama berabad-abad, kerasnya kondisi di Pulau Paskah hanya mengizinkan hidupnya sebuah populasi yang kecil, yang berjumlah stabil selama berabad-abad.
Ketahanan pangan termasuk tantangan paling mencolok di atas pulau seluas 63 kilometer persegi yang seluruhnya morfologinya terdiri dari batuan vulkanik. Berbeda dengan pulau tropis subur seperti Hawaii dan Tahiti, letusan gunung berapi di Rapa Nui berhenti ratusan ribu tahun lalu.
Mineral yang dikeluarkan oleh lava telah lama tersapu keluar dari tanah.
Rapa Nui juga jauh lebih kering dibandingkan pulau tropis lainnya.

By admin