Peringatan: Artikel ini mungkin bisa mengganggu kenyamanan Anda, dan dapat memicu trauma.
Setiap tahunnya, 10 September diperingati sebagai Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia. Namun, nyatanya perbincangan tentang ini sering menjadi hal tabu.
Di akhir tahun 2017, Tia (bukan nama sebenarnya) merasa tak punya lagi semangat untuk hidup. Masalah keluarga dan hubungan dengan pasangan yang ia simpan sendirian membuatnya depresi.
Namun, saat itu ia tak tahu sedang mengalami masalah mental. Baginya, ia baik-baik saja.
Hari demi hari, ia mulai tak mau makan, tidak bisa tidur, cemas, terus menangis hingga sesak napas.
Temannya sempat menganjurkan untuk memeriksakan diri ke profesional sebab merasa ada yang tak beres dengan dirinya. Namun, Tia bergeming.
Selain merasa malu jika ada yang tahu bahwa ia ke psikolog apalagi psikiater, dia masih merasa akan baik-baik saja.
Masuk IGD dua minggu sekali
Tak butuh waktu lama sampai depresi itu mulai mengganggu kesehatan fisiknya. Ia harus ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit setiap dua minggu sekali.
\”Sampai pada akhirnya hal itu memengaruhi kesehatan fisik saya. Bisa setiap dua minggu sekali masuk ke IGD. Ketika seperti itu, dokter di IGD pun mengatakan bahwa ini bukan fisik yang harus diobati,\” cerita Tia.
Dokter di IGD pun memberikan rujukan ke psikolog. Ia merasa lelah dan rapuh.
\”Aku sudah menyiapkan alat-alat untuk mengakhiri hidup. Aku pun tinggal sendirian, jadi (bila terjadi apa-apa) tidak akan ada yang tahu,\” ujar Tia.
Saat merasa mengakhiri hidup adalah jalan keluar terbaik, ia teringat orang tuanya.
\”Tapi terlintas bayangan orang tua yang mengharapkan anaknya hidup lebih baik. Jadi ketika siap mengakhiri hidup dengan alat-alat (yang ada), aku terpikir orang tua,\” kenang Tia.
Hampir setiap malam muncul keinginan untuk mengakhiri hidup. Tak bisa tidur sama sekali. Tingkat depresi yang berat membuat Tia dirujuk oleh psikolog ke psikiater. Ia diresepkan obat agar bisa tidur dan beraktivitas.

By admin