TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Serangan Iran pada 15 April 2024, dini hari WIB, tercatat sebagai serangan rudal-drone terbesar dan terjauh yang pernah diluncurkan sebuah negara di era perang modern.
Drone dan rudal Iran melintasi sejumlah negara dengan jarak diperkirakan sejauh 1.770 kilometer dari titik ditembakkan.
Jarak ini tentu lebih jauh jika dibandingkan ketika Amerika melepas rudal-rudal tomawak mereka ke Irak selama Perang Teluk 2 dan 3.
Iqbal Jassat, penulis Middle East Monitor, menggambarkan, warga Israel menyaksikan saat-saat menegangkan ketika drone dan rudal balistik Iran melintasi langit malam negara pendudukan tersebut.
\”Banyak yang mengaku bermalam di bunker dan ruang aman, merasa cemas dan tidak bisa tidur,\” tulisnya.
Menurut Iqbal, menjadi pihak yang menerima serangan udara adalah kenyataan baru yang mereka hadapi.
\”Hal ini sangat berbeda ketika mereka menjadi pemandu sorak atas penyerangan tentara Israel ke Palestina di Tepi Barat.\”
Ia melanjutkan, meskipun ketidakpastian mengenai dampak serangan bersejarah Iran telah menyibukkan para analis militer yang ingin mencari jawabannya, mereka tentu tidak dapat mengabaikan fakta bahwa kapasitas pencegahan Israel telah sangat terganggu.
Mantan kepala misi militer Prancis untuk PBB, Jenderal Dominique Trinquand, menyampaikan poin penting: “Perkembangan signifikan dalam konflik ini adalah bahwa Iran telah menyerang Israel secara langsung.”
Dominique mengatakan, meskipun teknologi pertahanan Amerika yang canggih melakukan intervensi–atas nama Israel–untuk mencegat banyak drone dan rudal, serangan Iran memiliki dampak yang signifikan.
“Kita tidak bisa meremehkan jumlah rudal dan drone yang ditembakkan ke Israel dari Iran, Irak, Yaman dan Lebanon, serta serangan di Dataran Tinggi Golan.”
Pengamatan yang sama pentingnya dilakukan oleh Didier Leroy, seorang peneliti di Akademi Militer Kerajaan Belgia.
Menurut Leroy, “Kita telah melewati ambang batas kualitatif yang mengubah dinamika dan memposisikan kembali Iran di peta sebagai pemain militer aktif.”
Dari sudut pandangnya sebagai mantan direktur intelijen militer Israel, Amos Yadlin memperkirakan bahwa serangan Iran dapat menyebabkan perubahan strategis dalam “perang di Gaza, dan bahkan berakhir.”