Memasuki awal Ramadan, sikap tidak peduli pengelola masjid atas keluhan warga yang terganggu penggunaan \”terlalu berlebihan\” pengeras suara (speaker), kembali dipersoalkan.
Peraturan yang \”terlalu longgar\” dianggap sebagai biangnya. Apa jalan ideal guna menyelesaikan masalah yang dianggap sensitif ini?
Kritik terhadap sebagian pengelola masjid yang tidak memedulikan pedoman tentang pengelolaan penggunaan alat pengeras suara, muncul lagi di awal Ramadan ini.
Keluhan warga yang merasa terganggu atas suara speaker masjid \”yang berlebihan\” itu tak hanya disuarakan umat di luar Islam, tetapi juga dari kalangan Muslim sendiri.
Ini disadari oleh Kementerian Agama yang kemudian melahirkan semacam imbauan yang mengatur tentang hal itu, belakangan.
Imbauan seperti ini diakui bukanlah pedoman baru, karena sudah ada peraturan serupa yang dibuat sekian tahun silam.
Dan faktanya, tidak semua masjid di Indonesia \”mematuhi\” peraturan tersebut, walau mendapat dukungan dari sebagian pimpinan masjid-masjid lainnya.
Sampai sekarang, ada sebagian masjid yang tetap menggunakan alat pengeras suara \”secara berlebihan\”.
Ada anggapan imbauan itu tidak digubris, karena tidak ada sanksi tegas kepada pengelola masjid yang bandel.
Namun di sisi lain muncul pula penilaian bahwa upaya penyelesaian atas persoalan seperti ini tidak bisa hanya diserahkan kepada negara.
Sebuah lembaga yang peduli terhadap isu toleransi, SETARA Institute mengatakan, dibutuhkan peran kongkret dari para pemuka agama untuk melakukan peran persuasif untuk mewujudkan nilai-nilai toleransi dalam praktek keseharian
“Saya cenderung lebih mendorong kesadaran dari masing-masing tokoh agama.
Kecuali ini sudah sangat menganggu dan derajatnya sudah sangat tinggi, barulah regulasi itu penting,” kata Direktur Riset SETARA Institute Halili kepada BBC News Indonesia, Selasa (12/03).
\’Semata imbauan, dan memang tidak ada sanksi\’: Kemenag