penggunaan mantra dan jampi dapat digunakan asalkan tidak difungsikan sebagaimana dahulu kalaJakarta (ANTARA) – Budayawan Yahya Andi Saputra menyebut mantra atau jampiberupa teks lisan yang memadukan berbagai bahasa dengan pilihan kata kini bisa digunakan seorang untuk memulai sebuah acara guna mencairkan suasana seperti halnya pantun.
Namun, dia yang tergabung di Lembaga Kebudayaan Betawi itu menekankan penggunaan mantra dan jampidapat digunakan asalkan tidak difungsikan sebagaimana dahulu kala yang identik dengan praktik mengusir roh jahat atau ritual perdukunan.
"Saya juga sering kalau diundang (acara) di mana-mana mengawalidengan membaca mantra (jampi), maksudnya bukan untuk sebagaimana dipakai oleh dukun," kata dia dalam diskusi publik bertema "Selayang Pandang Pengarang dan Sastra Betawi" di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat, Kamis.
Menurut Yahya, seperti halnya pantun, mantra atau jampiyang disampaikan saat seseorang akan memulai acara bisa membantu untuk mencairkan suasana sehingga dia lebih percaya diri saat harus bertutur di depan khalayak.
"Salah satu fungsi pantun itu mencairkan suasana, menjadikan gurih di cita rasa. Begitu juga dengan jampibisa digunakan, tapi bukan difungsikan sebagaimana dahulu," tutur Yahya.
Dia yang memulai diskusi dengan melafalkan jampiyang dulunya difungsikan sebagai penolak setan itu selama sekitar satu menit mengatakan jampimerupakan salah satu sastra lisan.
"Jampiitu dituturkan oleh tukangnya kalau dia mau difungsikan. Misal saya mau memikat (pelet) A, datang ke rumah B yang kemudian menyampaikan sejumlah persyaratan," ujar Yahya.
Adapun sastra Betawi muncul sejak abad ke-19 dengan pantun dan syair dalam lagu gambang keromong, jampi, dan mantra, kemudian berkembang menjadi tradisi bercerita seperti hikayat, buleng, dan gambang rancak.