Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengkritik langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang meneken peraturan pemerintah (PP) Nomor 25 tahun 2024 terkait pemberian izin bagi organisasi masyarakat (Ormas) keagamaan untuk ikut mengelola lahan tambang di Indonesia.
Koordinator Jatam Melky Nahar menilai bagi-bagi konsesi lahan tambang itu justru dikhawatirkan akan menambah rentetan konflik agraria. Apalagi kehadiran ormas keagamaan justru ditakutkan akan memicu konflik horizontal atau perseteruan antara masyarakat dengan masyarakat.
\”Saat ini karena ormas menjadi pebisnis, maka konflik itu pasti akan terjadi baik itu horizontal maupun vertikal,\” kata Melky saat dihubungi CNNIndonesia.com. Senin (3/6).
Melky justru curiga bisa saja hal itu strategi untuk menghadapkan masalah langsung antara warga dengan warga.
\”Potensi konflik semakin besar kalau seandainya misalnya konfliknya antara warga,\” imbuhnya.
ADVERTISEMENT /4905536/CNN_desktop/cnn_nasional/static_detail
–>ADVERTISEMENT .para_caption div {width: 100%;max-width: none !important;position: absolute;z-index: 2;}
Respons Konsesi Tambang: Muhammadiyah Akan Bahas Dulu, NU ApresiasiMelky mengatakan selama ini konflik lahan tambang kerap sekali diwarnai dengan represifitas yang menambah kesengsaraan rakyat. Namun selama ini, rakyat hanya bertentangan dengan pemilik usaha dan aparat keamanan.
Sementara dengan hadirnya ormas keagamaan dalam pengelolaan tambang, maka ia khawatir konflik antara sesama warga akan terjadi. Kondisi itu menurutnya berbahaya dan semakin menambah daftar konflik lahan tambang.
\”Kalaupun misalnya ormas itu menjadi pemegang konsesi sekaligus pengendali saham tambang, itu artinya tidak akan semakin baik. Justru akan semakin parah karena akan menambah wilayah konflik baru,\” kata dia.
Di sisi lain, Melky juga sanksi apabila ormas keagamaan sengaja dihadirkan dalam pengelolaan tambang agar mereka semakin humanis saat berhadapan dengan rakyat. Menurutnya, sulit sekali untuk mengedepankan unsur humanis bila menyangkut dengan permasalahan lahan tambang.
Apalagi, sesuai Pasal 83A (2) PP 25 Nomor 2024, Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) tersebut merupakan wilayah bekas Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang menurutnya selama ini mendapatkan resistensi dari masyarakat.
\”Jadi bahwa ormas barangkali dia lebih humanis ya omong kosong juga. Karena industri tambang itu kan dia penuh dengan cerita memilukan, penderitaan, dan semacamnya,\” ucap Melky.Bahlil: Kita Akan Beri Konsesi Tambang Batu Bara Besar ke PBNUMelky pun menilai bila melihat secara objektif, belum tentu seluruh anggota ormas keagamaan di Indonesia menyepakati hal itu. Ia justru curiga, segala gagasan yang kemudian melahirkan PP tersebut datang dari segelintir elite ormas keagamaan.
Tak hanya itu, Melky juga berpendapat PP tersebut merupakan cara Jokowi berterima kasih kepada ormas keagamaan yang telah membantunya dalam satu dekade terakhir, sehingga kebijakan itu penuh konflik kepentingan.
\”Padahal bisa jadi ratusan jemaah ormas ini menjadi korban konflik tambang. Jadi sisi kemanusiaan ormas keagamaan ini justru dipertanyakan kalau mereka mau ambil,\” imbuhnya.
Waspada jebakan batman
Oleh sebab itu, Melky berharap ormas keagamaan mampu memiliki pendirian kuat untuk bersikap adil dan bijaksana. Ormas keagamaan, kata dia, sudah seharusnya hadir untuk mengkritik dan bukan malah menikmati kebijakan yang kurang elok.
Pun ia menyentil apabila ormas beralasan dan berlindung di balik pasal 33 ayat 3 UUD 1945 terkait pengelolaan kekayaan alam, maka Melky menekankan sejatinya kesejahteraan itu untuk seluruh rakyat Indonesia alias bukan segelintir orang saja.
\”Ormas ini jangan terkena jebakan batman. Ormas justru seharusnya mengambil sikap politik yang berbeda, harus evaluasi sekaligus memberikan kritik kepada pemerintahan berikutnya untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama,\” ujar Melky.Aturan Lengkap Jokowi soal Izin Kelola Tambang untuk Ormas Keagamaan