Polemik kenaikan biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) di berbagai perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia kini tengah menjadi sorotan.
Bahkan, mahasiswa di sejumlah kampus di Indonesia pun turun melakukan unjuk rasa memprotes kenaikan UKT yang mereka nilai tak masuk akal tersebut.
Melejitnya biaya UKT di berbagai perguruan tinggi negeri tak terlepas dari status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN BH). Dengan status PTN-BH, kampus memiliki wewenang pada pengelolaan sumber daya, termasuk penentuan biaya pendidikan.
Tak hanya soal biaya pendidikan, PTN-BH juga punya keleluasaan dalam pola pelaporan keuangan. Mereka juga punya ruang untuk menentukan program studi yang dibuka di kampus masing-masing.
Hal itu dilegalisasi Mendikbudristek Nadiem Makarim lewat Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SBOPT) pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Permendikbud itu pun disebut-sebut menjadi pemicu kenaikan bombastis UKT PTN-BH di Indonesia.
ADVERTISEMENT /4905536/CNN_desktop/cnn_nasional/static_detail

–>ADVERTISEMENT .para_caption div {width: 100%;max-width: none !important;position: absolute;z-index: 2;}
Dalam aturan itu, hanya kelompok UKT 1 sebesar Rp500 ribu dan UKT 2 sebesar Rp1 juta menjadi standar minimal yang harus dimiliki PTN. Selebihnya, besaran UKT ditentukan masing-masing perguruan tinggi.Sikap Nadiem soal UKT Tak Rasional dan Rencana Evaluasi PermendikbudPTN-BH komersialisasi kampus
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji berpendapat akar masalah dari persoalan UKT itu sebetulnya adalah evaluasi yang lebih dalam terkait aturan PTN-BH.
Menurut Ubaid, tak bisa dipungkiri bahwa \’roh\’ dari PTN-BH adalah privatisasi dan komersialisasi kampus. Hal itu, katanya, dilakukan agar kampus bisa memperoleh uang untuk biaya operasional. Dia pun membandingkan PTN-BH dengan tata kelola PTN di masa lampau.
\”Dulu tuh kampus enggak boleh punya usaha, profit dan seterusnya karena dibiayai oleh negara, nah sekarang sistem itu mau diubah, mau didorong menjadi PTN-BH, nah ketika PTN-BH itu kampus diizinkan dan disahkan untuk berbisnis, bahkan wajib, karena kalau enggak berbisnis dia punya dana untuk biayai kampus,\” tutur Ubaid saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (21/5).
Ubaid juga menyebut hingga saat belum ada fakta atau bukti yang menunjukkan aturan PTN-BH ini membuahkan hasil yang baik.
Padahal, kebijakan tersebut sudah berlangsung sejak terbitnya UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi lebih dari satu dasawarsa lalu.
Atas dasar ini, Ubaid berpendapat sebaiknya kebijakan PTN-BH dihapuskan. Sebab, lebih banyak dampak buruk yang justru dirasakan oleh mahasiswa.
\”Enggak perlu ada PTN-BH, balik lagi seperti dulu perguruan tinggi negeri saja, karena PTN-BH ini sejak 2012 sekarang sudah 2024, sudah 10 tahun lebih ini sudah bisa keliatan apa dampaknya,\” ujarnya.
\”Dampak baiknya saya kok tidak melihat ada dampak baiknya, yang kelihatan, yang dirasakan mahasiswa justru dampak buruk dan penyempitan terhadap akses pendidikan,\” imbuh Ubaid.Nadiem Sebut UKT Level Bawah Tak Alami Kenaikan, Apa Maksudnya?Apalagi, kata Ubaid, lewat kebijakan PTN-BH ini, kampus tak lagi berfokus pada tujuan untuk turut serta mencerdaskan kehidupan berbangsa. Pasalnya, yang menjadi fokus utama kampus adalah bagaimana mencari uang demi memenuhi seluruh kebutuhan operasional.
\”Jadi yang dipikirkan adalah duit-duit-duit, \’karena kita enggak punya duit-duit-duit, maka harus berbisnis dengan mahasiswa\’, melalui skema UKT yang jelas untung,\” ucap dia.

Bantuan operasional kampus
Terpisah, Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) sekaligus pengamat pendidikan Cecep Darmawan menilai kenaikan UKT hingga dituding tak rasional itu tak bisa dilepaskan dari rendahnya bantuan operasional untuk perguruan tinggi, termasuk PTN-BH.
Lantaran bantuan operasional terbatas, kata dia, maka PTN-BH diberikan keleluasaan untuk bisa mencari tambahan dana. Ini bisa dilakukan lewat berbagai cara, mulai dari kerja sama riset, inovasi, hak paten dan sebagainya.
\”Tapi kan enggak semua PTN-BH bisa sepenuhnya begitu. Bisa dihitung yang bisa begitu dan belum survive betul, sehingga untuk menutupi operasional, ya UKT akhirnya,\” ucap dia.
Cecep berpendapat sebenarnya tak ada yang salah dengan regulasi PTN-BH. Sebab, mahalnya biaya UKT bukan dikarenakan status sebuah kampus sebagai PTN-BH.
\”Jadi sebenarnya bukan semata-mata PTN-BH di sini, jadi jangan sampai menuduh (karena) PTN-BH jadi mahal, mahalnya bukan karena alih status, bukan, mahalnya itu karena bantuan pemerintah sangat kecil,\” ujarnya.Dikti: Kampus Wajib Beri Kelonggaran UKT Jadi Rp500 Ribu per SemesterBaca halaman selanjutnya

By admin