Produsen mobil di Indonesia kini sedang kesusahan menjaga karyawannya tak tergoda pindah kantor ke merek China yang lagi membuka banyak peluang efek jor-joran investasi mobil listrik di dalam negeri.
Menurut Nikkei Asia, pemburu tenaga kerja alias headhunter yang sedang gencar adalah BYD. Merek mobil listrik terlaris di China itu bakal mendirikan pabrik 150 ribu unit per tahun di Subang, Jawa Barat dengan komitmen investasi US$1 miliar atau sekitar Rp15,1 triliun (kurs Rp15.199).Tak Cuma di Indonesia, BYD Jual M6 di India tapi Pakai Nama BerbedaBagi BYD dan produsen mobil China lainnya yang memutuskan berbisnis di Indonesia, produsen Jepang yang sudah puluhan tahun berada di Tanah Air merupakan tempat ahli dan orang bakat berkumpul.
Toyota, yang saat ini memimpin pasar mobil di dalam negeri, sudah beroperasi sejak 1970-an. Sementara merek Jepang sekarang menguasai lebih dari 90 persen penjualan mobil baru didukung tenaga kerja produksi dan penjualan yang berpengalaman.

Sebelum produsen China, tenaga kerja produsen Jepang sudah disedot Hyundai, merek asal Korea Selatan yang masuk ke Indonesia secara penuh pada 2022. Pada tahun itu pabrik Hyundai berkapasitas 150 ribu unit per tahun mulai beroperasi.
Hyundai menawarkan paket kompensasi menarik untuk mencari pekerja tingkat eksekutif dari produsen Jepang. Beberapa eksekutif di perusahaan manufaktur Jepang dikatakan ditawari gaji dua hingga tiga kali lipat dari yang mereka terima.
Pejabat chief operating officer Hyundai di Indonesia sebelumnya bekerja di divisi penjualan Toyota di Indonesia.
Perusahaan konsultan Deloitte Tohmatsu memaparkan berdasarkan survei yang dilakukan tahun lalu bahwa kekurangan karyawan menjadi faktor risiko terbesar perusahaan Jepang di Asia Tenggara, China dan negara serupa lainnya. Faktor ini diungkap 35 persen dari semua responden, naik 10 poin dari 2019.
Keberhasilan headhunter merekrut pekerja menunjukkan bisnis perusahaan Jepang menjadi kurang diminati sebagai pemberi kerja.
Di banyak negara Asia Tenggara, persentase karyawan ingin bekerja di perusahaan Jepang turun sekitar 10 persen dibanding 2019, berdasarkan survei pada 2020 oleh Persol Research and Consulting.
\”Alasannya terletak pada persepsi kurangnya peluang pergerakan ke atas dari personel yang direkrut secara lokal, dan fakta bahwa tingkat upahnya rendah dibanding perusahaan asing lainnya,\” kata Ryotaro Inoue, kepala peneliti di Persol Research.Airlangga Soal Mobil Hybrid Tanpa Insentif: Penjualan Cukup BaikGaji rendah telah menghambat upaya perekrutan pekerja internasional untuk bekerja di Jepang dibanding negara lain misal India.
Sebelumnya insinyur teknologi informasi bisa mendapatkan gaji 50-100 persen lebih besar di Jepang dibanding India, menurut salah satu startup teknologi informasi di Jepang.
Namun salah satu eksekutif startup itu mengatakan saat ini pekerja kelas atas dengan pendapatan tinggi mendapatkan gaji yang sama di Jepang dan India. Menurut dia ketertarikan bekerja di Jepang sudah menurun drastis.

By admin