Fenomena iklim El Nino, yang memicu penurunan curah hujan dan kekeringan di Indonesia, resmi berakhir, namun begitu di sejumlah daerah masih terasa panas dan kondisi gerah. Apa penyebabnya?
Informasi terkini mengungkap El Nino sudah berstatus netral alias berakhir usai terdeteksi setidaknya sejak Juli 2023. Sebaliknya, La Nina yang merupakan anomali iklim yang bisa menambah curah hujan di Indonesia akan segera muncul.
Berdasarkan Ikhtisar Cuaca Harian 19-21 Mei, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkap Indeks NINO 3.4, yang merupakan zona utama pemantauan El Nino, bernilai +0.45, \”tidak signifikan terhadap peningkatan hujan di wilayah Indonesia (Netral).\”
El Nino dan La Nina merupakan bagian dari El Nino-Southern Oscillation (ENSO), sebuah pola iklim berulang yang melibatkan perubahan suhu permukaan laut (SST) di Samudera Pasifik tropis bagian tengah dan timur.El Nino Resmi Berakhir, Dunia Bersiap Sambut La NinaADVERTISEMENT .para_caption div {width: 100%;max-width: none !important;position: absolute;z-index: 2;}Jika suhu lebih besar atau sama dengan +0,5 derajat Celsius, El Nino dinyatakan muncul. Jika kurang dari atau sama dengan -0,5 derajat Celsius, giliran La Nina bangkit. Di antara angka-angka itu, ENSO statusnya netral.
Badan Meteorologi Australia (BoM) mengatakan peluang teradinya La Nina semakin besar. Menurut lembaga itu, ada sejumlah krtier yang mendukung kemunculan La Nina.
Pertama, fase ENSO netral atau El Nino sedang menurun.
Kedua, empat dari 10 tahun pantauan pola Indeks Osilasi Selatan (SOI) menunjukkan karakteristik La Nina.
Ketiga, ada pendinginan bawah permukaan yang signifikan yang teramati di Samudera Pasifik khatulistiwa bagian barat atau tengah.
Keempat, sepertiga atau lebih model iklim yang disurvei menunjukkan pendinginan berkelanjutan hingga setidaknya 0,8 derajat Celsius di bawah rata-rata di wilayah NINO3 atau NINO3.4 di Samudra Pasifik pada akhir musim dingin atau musim semi.Daftar Daerah Diprediksi Mulai Kemarau Pekan ini, Termasuk JakselMeski El Nino telah berakhir dan La Nina segera muncul, kenapa udara di sejumlah wilayah Tanah Air masih terasa gerah?
Menurut BMKG cuaca panas dan cenderung gerah yang terjadi belakangan ini disebabkan oleh peralihan musim atau pancaroba.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, dalam sebuah keterangan, mengatakan suhu panas saat ini terjadi akibat dari pemanasan permukaan sebagai dampak dari mulai berkurangnya pembentukan awan dan berkurangnya curah hujan.
Hal ini merupakan sesuatu yang umum terjadi pada periode peralihan musim hujan ke musim kemarau, sebagai kombinasi dampak pemanasan permukaan dan kelembaban yang masih relatif tinggi pada periode peralihan ini.
\”Periode peralihan ini umumnya dicirikan dengan kondisi pagi hari yang cerah, siang hari yang terik dengan pertumbuhan awan yang pesat diiringi peningkatan suhu udara, kemudian terjadi hujan pada siang menjelang sore hari atau sore menjelang malam hari,\” kata Dwikorita.
Sementara itu, kondisi gerah serupa juga dapat terasa jika langit masih tertutup awan dengan suhu udara serta kelembapan udara yang relatif tinggi. Namun, udara akan berangsur-angsur mendingin kembali jika hujan sudah mulai turun.
Dalam salah satu postingan di Instagram, BMKG mengungkap laporan suhu maksimal yang terjadi di Indonesia periode 20-21 Mei 2024.
[Gambas:Instagram]
Laporan tersebut mengungkap Stasiun Meteorologi Sentani yang berlokasi di Jayapura, Papua menjadi lokasi terpanas dengan suhu 35,6 derajat Celsius. Disusul Stasiun Meteorologi Maritim Tanjung Priok (35,4 derajat Celsius) di peringkat kedua, dan Stasiun Klimatologi Jawa Tengah (35,2 derajat Celsius) di peringkat ketiga.
Kemudian, Stasiun Meteorologi Pangsuma yang berada di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat ada di posisi keempat dengan suhu harian maksimal mencapai 35,2 derajat Celsius. Posisi kelima ada Balai Besar Klimatologi dan Geofisika Wilayah I dengan suhu mencapai 34,9 derajat Celsius.
Saat ini, beberapa wilayah juga diprakirakan mulai masuk musim kemarau, termasuk di wilayah Jabodetabek. Menurut BMKG sebagian besar wilayah diprediksi mengalami awal musim kemarau 2024 pada Mei hingga Agustus 2024.
Wilayah yang mengalami awal musim kemarau pada periode tersebut mencapai 445 zona musim atau ZOM (63,66 persen).
BMKG menyebut awal musim kemarau ditetapkan berdasarkan jumlah curah hujan dalam satu dasarian (10 hari) kurang dari 50 milimeter dan diikuti oleh dua dasarian berikutnya.
Selain itu, wilayah ditetapkan memasuki awal musim kemarau apabila terdapat satu dasarian dengan curah hujan kurang dari 50 milimeter dan ketika dijumlahkan dengan dua dasarian berikutnya, total curah hujan dalam tiga dasarian tersebut kurang dari 150 milimeter.