Sebuah penelitian mengungkap kerugian ekonomi raksasa, yang jauh lebih besar dari kondisi saat ini, imbas perubahan iklim.
Studi ini menjadikan Produk Domestik Bruto (PDB) sebagai alat ukur kerugian imbas krisis iklim ini. PDB sendiri merupakan jumlah penghasilan dari seluruh jenis usaha di suatu negara per tahunnya. Ini kerap dipakai sebagai metode untuk menghitung pendapatan nasional.
Para peneliti mengungkap sifat saling terkait dari dampak gelombang panas, badai, banjir, dan dampak buruk perubahan iklim lainnya yang mampu merusak hasil panen, menurunkan produktivitas pekerja, dan mengurangi investasi modal.Alasan Negara Miskin dan Berkembang Lebih Menderita Imbas Krisis IklimDapat disimpulkan bahwa pemanasan global dapat berdampak pada kerugian finansial di tingkat yang konsisten jika berlangsung terus-menerus.
\”Pertumbuhan ekonomi masih akan terjadi, namun pada akhir abad ini masyarakat mungkin akan menjadi 50 persen lebih miskin dibandingkan jika bukan karena perubahan iklim,\” kata Adrien Bilal, salah satu penulis dari Harvard, melansir The Guardian.ADVERTISEMENT .para_caption div {width: 100%;max-width: none !important;position: absolute;z-index: 2;}Studi ini menggunakan pendekatan soal kaitan dari dampak gelombang panas, badai, banjir, dan dampak buruk iklim lainnya yang merusak hasil panen, menurunkan produktivitas pekerja, dan mengurangi investasi modal.
Menurut para peneliti, peningkatan suhu global sebesar 1 drajat C akan dapat menyebabkan penurunan produk domestik bruto (PDB) dunia sebesar 12 persen.
Sementara itu, sejak masa pra-industri hingga saat ini, banyak dari para ilmuwan menyatakan jika suhu dunia telah meningkat lebih dari 1 derajat Celsius (1,8 derajat Fahrenheit).Ilmuwan Bongkar Gelombang Panas Asia Sebenarnya Fenomena MustahilBahkan per akhir abad ini, ilmuwan memperkirakan kenaikan suhu akan mencapai 3 derajat C (5,4 derajat F) jika terus dibarengi dengan pembakaran bahan bakar fosil.
Jika kondisi ini tercapai, studi tersebut mengungkap \”penurunan tajam dalam output, modal, dan konsumsi yang melebihi 50 persen pada 2100.\”
Kerugian ekonomi ini sangat parah sehingga \”sebanding dengan kerusakan ekonomi yang disebabkan oleh perang di dalam negeri dan secara permanen.\”
Untuk saat ini saja, setelah dilakukan banyak aksi dalam rangka pengurangan emisi, perubahan iklim tetap menimbulkan angka kerugian PDB 15 persen.
Jika menghitung biaya atas kerusakan yang terjadi per setiap ton tambahan emisi karbon, para peneliti memaparkan bahwa kerugian ekonomi secara global bisa mencapai angka US$1.056 atau sekitar Rp16 juta per ton.
\”Itu masih substansial, perekonomian mungkin terus tumbuh, namun pertumbuhannya akan berkurang karena perubahan iklim. Ini akan menjadi fenomena yang berlangsung lambat, meskipun dampaknya akan sangat terasa ketika terjadi,\” pungkas Bilal.
Terpisah, Gernot Wagner, ekonom iklim di Universitas Columbia yang tidak terlibat dalam studi tersebut, menilai penelitian ini \”mengambil langkah mundur dan menghubungkan dampak lokal dengan suhu global.\”
\”Jika hasilnya bertahan, dan saya enggak punya alasan untuk yakin hal tersebut tidak akan terjadi, hal ini akan membuat perbedaan besar dalam perkiraan kerusakan iklim secara keseluruhan.\”
Makalah ini mengikuti penelitian terpisah yang dirilis bulan lalu yang menemukan bahwa pendapatan rata-rata akan turun hampir seperlima dalam 26 tahun ke depan jika dibandingkan dengan pendapatan rata-rata tanpa krisis iklim.
Meningkatnya suhu, curah hujan yang lebih tinggi, dan cuaca ekstrem yang lebih sering dan intens diperkirakan menyebabkan kerusakan senilai US$38 triliun setiap tahun pada pertengahan abad ini, menurut penelitian sebelumnya itu.
Kedua makalah tersebut memperjelas bahwa biaya peralihan dari bahan bakar fosil dan membatasi dampak perubahan iklim, meski tidak sepele, tidak seberapa jika dibandingkan dengan biaya perubahan iklim itu sendiri.
\”Perubahan iklim yang tidak dimitigasi jauh lebih mahal dibandingkan melakukan sesuatu untuk mengatasinya, itu jelas,\” tutup Wagner.